Sabtu, 26 Juni 2010

ANALISIS PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI PUTUSAN NOMOR: 418/PID.B/2008/PN.SKA)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semakin tingginya nilai sebuah peradaban dari masa ke masa tentunya mampu memberikan kemajuan bagi kehidupan manusia, namun tidak dapat dilupakan juga bahwa di sisi lain dari kemajuan yang ditimbulkan akan membawa dampak yang buruk terhadap manusia jika semuanya itu tidak ditempatkan tepat pada tempatnya. Perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala sosial yang biasa dan bersifat umum serta merupakan proses penyesuaian masyarakat terhadap kemajuan jaman. Perkembangan tersebut membawa dampak yang luar biasa yang dapat dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat tersebut termasuk tuntutan hidup.

Mengingat bahwa pembangunan nasional berjalan seiring dengan kemajuan budaya dan iptek, perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multi kompleks. Perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada yang tidak. Terhadap perilaku yang sesuai norma tidak menjadi masalah, namun terhadap perilaku yang tidak sesuai norma biasanya dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat (Bambang Waluyo, 2000: 1).

Seseorang akan cenderung berusaha memenuhi kebutuhannya dalam rangka mempertahankan hidup. Bagi mereka yang memiliki keahlian di bidang tertentu dan ditunjang dengan tingkat pendidikan yang memadai akan cenderung memiliki tingkat ekonomi yang lebih mapan karena mereka dapat memperoleh pekerjaan berdasarkan keahlian yang dimilikinya tersebut. Lain halnya bagi mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang bisa dikatakan rendah dan tidak memiliki keahlian tertentu. Mereka cenderung memiliki tingkat ekonomi yang menengah ke bawah. Seiring kemajuan jaman, kebutuhan mereka akan terus bertambah sedangkan di sisi lain perekonomian mereka semakin terpuruk. Hal tersebut dapat memicu seseorang untuk mengambil jalan pintas demi memenuhi kebutuhannya dengan melakukan tindakan yang dapat merugikan masyarakat, yaitu kejahatan.

Masyarakat perlu lebih jeli dan peka terhadap lingkungan. Perlu disadari bahwa kejahatan dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Setiap orang dapat menjadi sasaran kejahatan, baik itu orang dewasa maupun anak di bawah umur. Maraknya kejahatan kesusilaan dewasa ini berkenaan dengan “Behaviour in relation sexual matter” biasanya berbentuk pencabulan baik yang dilakukan oleh sepasang orang dewasa atau sesama orang dewasa maupun dengan anak dibawah umur. Pelaku kejahatan tersebut merasa bahwa anak-anak dapat menjadi salah satu sasaran untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Hal ini dipengaruhi oleh pendapat bahwa anak-anak tidak cukup mampu untuk mengerti bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana atau anak-anak tidak mempunyai keberanian untuk menolak keinginan pelaku.

Pencabulan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur tentunya akan berdampak pada psikologis maupun perkembangan lainnya terhadap anak tersebut. Dampak psikologis pada anak-anak akan melahirkan trauma berkepanjangan yang kemudian dapat melahirkan sikap tidak sehat, seperti minder, takut yang berlebihan, perkembangan jiwa terganggu, dan akhirnya berakibat pada keterbelakangan mental. Keadaan tersebut kemungkinan dapat menjadi suatu kenangan buruk bagi anak korban pencabulan tersebut. Peran aktif dari para aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan kesusilaan sangat diperlukan. Eskalasi kekerasan terhadap anak setiap hari terus meningkat, padahal di dalam KUHP (Kitap Undang-Undang Hukum Pidana) telah termaktub aturan hukum tentang pencabulan.

Semakin meningkatnya kejahatan terhadap anak harus diantisipasi dengan memfungsikan instrumen hukum pidana secara efektif melalui penegakan hukum dengan cara mengupayakan penanggulangan terhadap perilaku yang melanggar hukum yang bersifat preventif dan represif. Hal ini merupakan tujuan pemidaan yang tercantum dalam Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Tahun 2008 Bab III Pasal 51 ayat (1) yaitu:

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan penegakan norma hukum demi pengayoman Negara dan masyarakat.

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan membimbing agar terpidana insyaf dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat yang berbudi berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Salah satu dari pelaksana hukum yaitu hakim. Hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk menerima, memeriksa serta memutus suatu perkara pidana. Oleh karena itu hakim dalam menangani suatu perkara harus dapat berbuat adil. Seorang hakim dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi oleh hal yang ada pada dirinya dan sekitarnya karena pengaruhi dari faktor agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan sebagainya sehingga dapat dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang sehingga mempengaruhi pertimbangan dalam memberikan keputusan (Oemar Seno Aji, 1997: 12).

Hakim dalam mengambil suatu keputusan atau vonis, memang bukan suatu masalah yang sulit. Pekerjaan membuat suatu putusan merupakan pekerjaan rutin yang setiap hari dilakukan. Namun demikian, justru karena rutinitas tersebut seringkali hakim mengabaikan standar normatif yang harus ditempuh untuk membuat suatu putusan. Kondisi tersebut bisa dilihat pada pertimbangan hukum yang diambil para majelis hakim ketika mengambil suatu putusan. Banyak pertimbangan hukum yang dibuat secara asal-asalan, bahkan apabila hal tersebut hanya menyangkut perkara-perkara pasaran yang setiap hari ditanganinya. Hal ini menyebabkan di lingkungan pengadilan masih sedikit ditemukan putusan hakim yang mempunyai kualitas ilmiah untuk dapat dikaji secara akademik bagi pengembangan hukum (Satjipto Rahardjo, 2000:20).

Putusan dari hakim merupakan sebuah hukum bagi terdakwa pada khususnya dan menjadi sebuah hukum yang berlaku luas apabila menjadi sebuah yurisprudensi yang akan diikuti oleh para hakim dalam memutus suatu perkara yang sama. Apabila suatu perkara yang diputus sudah keliru dan pada akhirnya menjadi sebuah yurisprudensi, maka yang terjadi adalah tidak terciptanya keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang dicantumkan dalam setiap putusan hakim, khususnya dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Penjatuhan pidana terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur seharusnya hakim memperhatikan akibat-akibat yang timbul dari adanya suatu perbuatan tersebut baik aspek psikis maupun aspek psikologis dari korban, sehingga dalam putusannya dapat memuaskan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Melihat kenyataan tersebut maka sudah seharusnya hukum pidana memberikan sanksi yang setimpal bagi pelaku kejahatan tersebut sehingga supremasi hukum benar-benar ditegakkan dan tercipta ketertiban dalam masyarakat. Disamping itu, sanksi tersebut diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya dimasa mendatang serta mencegah orang lain agar tidak melakukan kejahatan tersebut karena suatu ancaman sanksi yang cukup berat.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji masalah tersebut dengan judul : ANALISIS PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI PUTUSAN NOMOR: 418/PID.B/2008/PN.SKA).

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam suatu penulisan hukum diperlukan untuk memberi kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang akan ditelitinya sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah rumusan tindak pidana dan sanksi pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dalam putusan nomor: 418/Pid.B/2008/PN.Ska?

C. Tujuan Penelitian

Suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan jelas yang hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengetahui rumusan tindak pidana dan sanksi pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

b. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dalam putusan nomor: 418/Pid.B/2008/PN.Ska.

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk menambah pemahaman penulis dalam bidang penulisan ilmu hukum khususnya hukum pidana.

b. Untuk menambah wawasan pengetahuan, serta pemahaman penulis terhadap penerapan teori yang telah diterima selama mengikuti kuliah untuk mengatasi permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat.

c. Untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat mengenai tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur guna menyusun skripsi sebagai prasyarat memeroleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan awal dalam mengadakan penelitian yang sejenis, serta sebagai pedoman peneliti lain.

2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan sebagai referensi bagi para pihak yang ingin meneliti permasalahan yang sama, khususnya dalam menganalisis tindak pidana pecabulan terhadap anak di bawah umur.

b. Memberikan kontribusi pemikiran terhadap upaya pemecahan permasalahan yang timbul dari kejahatan kesusilaan.

E. Metode Penelitian

H. J van Eikema Hommes dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri. Apa yang dikemukakan mengidentifikasikan bahwa tidak dimungkinkannya penyeragaman metode untuk semua bidang ilmu (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 11).

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian antara lain sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 35). Penelitian hukum menurut Hutchison dibedakan menjadi 4 tipe yaitu:

a. Doctrinal Research.

b. Reform-Oriented Research.

c. Theoretical Research.

d. Fundamental Research (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 32-33).

Ketiga tipe penelitian hukum yang dikemukakan Hutchinson yaitu Doctrinal Research, Reform-Oriented Research, dan Theoretical Research menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian doktrinal sedangkan penelitian sosio legal termasuk dalam tipe keempat yaitu Fundamental Research (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 33).

Penelitian hukum ini masuk ke dalam penelitian doktrinal karena keilmuan hukum memang bersifat preskriptif yaitu melihat hukum sebagai norma sosial bukan gejala sosial (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 33).

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat dari ilmu hukum itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif atau terapan, maksudnya bahwa ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 22).

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum doktrinal dapat dilakukan dalam berbagai pendekatan. Pendekatan dalam penelitian hukum doktrinal sesungguhnya merupakan esensi dari metode penelitian ini sendiri. Pendekatan itu yang mungkin diperoleh jawaban yang diharapkan atas permasalahan hukum yang diajukan. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian hukum diantaranya:

a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach).

b. Pendekatan kasus (Case Approach).

c. Pendekatan historis (Historical Approach).

d. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach).

e. Pendekatan konseptual (Conseptual Approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 93-94).

Kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan kasus (Case Approach).

4. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu sejumlah data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan, terdiri dari literatur, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan yang berlaku, laporan, desertasi, teori-teori dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang diteliti.

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yaitu berupa:

a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam perbuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Penelitian Hukum ini menggunakan bahan hukum dari Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 418/Pid.B/2008/PN.Ska.

b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar atas putusan pengadilan. Dalam hal ini penulis menggunakan bahan hukum sekunder berupa jurnal-jurnal hukum dari dalam dan luar negeri, hasil-hasil penelitian hukum serta hasil karya dari kalangan hukum termasuk artikel-artikel hukum di internet (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141).

5. Teknik Pengumpulan Data

Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan- bahan hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Penulis menggunakan pendekatan kasus (case approach) dengan mengumpulkan putusan pengadilan mengenai isu hukum yang dihadapi yakni Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 418/Pid.B/2008/PN.Ska dalam tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. Peneliti juga mengumpulkan bahan-bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan bahan hukum yang diperoleh kemudian diolah ke dalam pokok permasalahan yang diajukan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis deduksi. Metode deduksi merupakan mtode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 47).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, penganalisaan, serta penjabaran isi dari penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum ini sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori penulis akan menguraikan Tinjauan Tentang Hakim dan Kekuasaan Kehakiman, Tinjauan Tentang Tujuan Pemidanaan, Tindak Pidana Pencabulan sebagai Delik Kesusilaan, Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pencabulan, sedangkan dalam kerangka pemikiran penulis akan menampilkan bagan kerangka pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya. Pertama, rumusan tindak pidana dan saksi pidana pencabulan anak di bawah umur dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua, penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur dalam putusan nomor: 418/Pid.B/2008/PN.Ska.

BAB IV : PENUTUP

Menguraikan mengenai simpulan atas perumusan masalah yang diteliti dan uraian penulis mengenai saran yang ingin disampaikan berdasarkan jawaban yang diuraikan dalam simpulan.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Hakim dan Kekuasaan Kehakiman

a. Pengertian Hakim

Pasal 1 butir 8 Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sebagaimana dijelaskan oleh KUHAP bahwa yang dimaksud “mengadili adalah serangkaian tindakan hakim, untuk menerima, memeriksa, memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.” (Pasal 1 ayat (9) KUHAP).

Pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

b. Kewajiban dan Tanggung Jawab Hakim

Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim mempunyai kewajiban:

1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 ayat (1)).

2) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1)).

3) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum (Pasal 5 ayat (2)).

4) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Pasal 5 ayat (3)).

5) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 8 ayat (2)).

6) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (Pasal 14 ayat (2)).

7) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 17 ayat (3)).

8) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat (Pasal 17 ayat (4)).

9) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara (Pasal 17 ayat (5)).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan tanggung jawab hakim, yaitu:

1) Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 2 ayat (1)).

2) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya (Pasal 53 ayat (1)).

c. Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan Kehakiman menurutPasal 1 Undang-Undang Nomor Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

2. Tinjauan tentang Tujuan Pemidanaan

a. Teori dan Tujuan Pemidanaan

Putusan pemidanaan merupakan salah satu bentuk putusan Pengadilan Negeri. Bentuk putusan lain misalnya putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Putusan pemidanaan terjadi jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (Pasal 193 ayat (1) KUHAP) (Bambang Waluyo, 2000: 86).

Hukum pidana memberikan sanksi atau pidana dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Ada tiga teori dan tujuan pemidanaan, yaitu:

1) Tujuan Pembalasan (Teori Absolut)

Tujuan pemidanaan yaitu untuk membalas perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan.

2) Teori Tujuan (Teori Relatif)

Tujuan pemidanaan adalah:

a) Untuk mencegah terjadinya kejahatan.

b) Untuk memberikan rasa takut, sehingga orang tidak melakukan kejahatan.

c) Memperbaiki orang yang melakukan kejahatan.

d) Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan.

Teori relatif modern menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk menjamin ketertiban umum.

3) Teori Gabungan

Tujuan pemidanaan, selain disebabkan orang telah melakukan perbuatan pidana, juga supaya orang jangan sampai melakukan perbuatan pidana.

b. Dasar Penjatuhan Pidana

Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau berpihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Hal itu ditegaskan kembali kembali dalam pengertian kekuasaan kehakiman yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang bunyi “Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Berdasarkan hal tersebut hakim dalam memeriksa seseorang yang diduga melanggar peraturan hukum pada proses persidangan mempunyai kebebasan terutama dalam menjatuhkan putusan. Oleh karena itu kebebasan hakim itu dapat berwujud :

1) Bebasnya hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan.

2) Bebas dalam menggunakan keyakinan pribadinya tentang terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa (Pasal 183 KUHAP).

Undang-undang memberikan syarat-syarat yang berat untuk dapatnya hakim menjatuhkan pidana bagi seseorang. Syarat-syarat tersebut adalah :

a) Karena pembuktian yang sah menurut undang-undang.

b) Untuk dikatakan terbukti dengan sah sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah menurut Pasal 183 KUHAP.

c) Adanya keyakinan hakim.

d) Orang yang melakukan tindak pidana dapat dianggap bertanggung jawab.

e) Adanya kesalahan melakukan tindak pidana yang didakwakan atas diri pelaku tindak pidana tersebut.

3) Bebas dalam menentukan besarnya pidana yang akan dijatuhkan kepada seseorang. Hakim bebas bergerak dari minimum sampai maksimum khusus, dan bebas memilih pidana mana yang akan dijatuhkan dalam hal undang-undang mengancam dengan pidana pokok dan pidana tambahan.

c. Faktor-Faktor yang Diperhatikan dalam Penjatuhan Pidana

Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang. Jadi, bukan hanya balas dendam, rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Apabila kita kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan kebenaran materiil. Bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas yaitu tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara. Artinya ada tujuan ahkir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal itu mencapai suatu masyarakat yang tertib, tenteram, damai, adil dan sejahtera .

Praktek sehari-hari, baik oleh Penuntut Umum maupun Hakim, faktor-faktor yang dikemukakan dalam tuntutan dan penjatuhan pidana adalah dua hal pokok yaitu hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Faktor-faktor yang meringankan antara lain, terdakwa masih muda, berlaku sopan dan mengakui perbuatannya. Faktor-faktor yang memberatkan misalnya memberi keterangan yang berbelit-belit, tidak mengakui perbuatannya, meresahkan masyarakat, merugikan Negara, dan sebagainya (Bambang Waluyo, 2000: 90).

3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pencabulan sebagai Delik Kesusilaan

a. Pengertian Tindak Pidana (Strafbaar Feit)

Pengertian tindak pidana menurut beberapa para ahli hukum:

1) Moeljatno

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2000: 54).

2) R. Tresna

Walaupun menyatakan sangat sulit untuk merumuskan atau member definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun juga beliau menarik definisi yang menyatakan bahwa “peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman (Adami Chazawi, 2002).

3) Wirjono Projodikoro

Menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana (Wirjono Projodikoro, 1989: 43).

b. Unsur Tindak Pidana

Dasar-dasar hukum pidana di Indonesia untuk dapat dikatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana maka seseorang tersebut diyakini telah melanggar beberapa unsur tindak pidana. Setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP dibagi dalam dua bagian, yaitu unsur yang bersifat subyektif dan unsur yang bersifat obyektif.

Unsur subyektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini antara lain:

1) Kesengajan atau kealpaan (dollus atau culpa).

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3) Macam-macam maksud atau oogmerk.

4) Merencanakan terlebih dahulu atau voordebuchte raad.

5) Perasaan takut atau vrees.

Unsur obyektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yang di dalam keadaan mana tindakan dari pelaku harus dilakukan. Unsur ini antara lain:

1) Sifat melawan hukum atau wederrechtlijkheheid.

2) Kausalitas dari perilaku.

Kausalitas yaitu hubungan antar tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat (Lamintang, 1997: 194).

c. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pencabulan sebagai Delik Kesusilaan

Pencabulan berasal dari kata cabul. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat arti kata sebagai berikut: “keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan). Perbuatan cabul digolongkan sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan.

KUHP belum mendefinisikan dengan jelas maksud perbuatan cabul itu sendiri dan terkesan mencampur arti kata persetubuhan maupun perkosaan. Dalam rancangan KUHP sudah terdapat penambahan kata “persetubuhan” disamping kata perbuatan cabul. Perumusan tersebut dapat dilihat bahwa pengertian perbuatan cabul dan persetubuhan sangatlah berbeda. Perbuatan cabul tidak menimbulkan kehamilan.

Menurut Simon ”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dibidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan (Lamintang, 1997: 159).

Tindak pidana pencabulan merupakan salah satu kejahatan kesusilaan, yang diatur di dalam KUHP Buku II Bab XIV Pasal 294 ayat (1) yang ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Meskipun perbuatan ini selalu harus dilakukan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama, namun yang dihukum hanyalah seorang yang sudah dewasa. Apabila perbuatan cabul dilakukan pelaku tidak tercapai maksudnya, karena adanya perlawanan dari pihak korban, ia dipersalahkan melakukan percobaan pencabulan yang ketentuannya diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.

Sanksi pidana mengenai perbuatan cabul terhadap anak diatur pula di luar KUHP yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ketentuan tersebut dalam pasal 81 yaitu sebagai berikut:

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Ketentuan dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”.

4. Tinjauan Tentang Perlindungan Anak Sebagai Korban Korban Tindak Pidana Pencabulan

a. Pengertian Anak

Hukum kita terdapat kemajemukan mengenai pengertian anak sebagai akibat setiap peraturan perundang-undangan memberi batas usia sendiri-sendiri mengenai apa yang dimaksud dengan anak. Pengaturan tentang pengertian anak tersebut terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berbeda sesuai dengan bidang yang diaturnya. Beberapa peraturan perundang-undangan yang telah memberikan batasan pengertian tentang anak, antara lain:

1) Undang-Undang tentang Pengadilan Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan bahwa anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

2) Kitap Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatakan orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dulu telah kawin.

3) Undang-Undang tentang Perkawinan

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan, seseorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

4) Undang-Undang tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.

5) Undang-Undang Tentang Kesejahteraan Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak merumuskan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

6) Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merumuskan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.

Perumusan batasan usia anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut adalah berbeda-beda satu sama lain, hal ini karena pemberian batasan usia anak tersebut merupakan pembatasan untuk suatu perbuatan tertentu, tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan tertentu. Dari berbagai perbedaan pandangan tentang kriteria anak tersebut, maka dalam penulisan hukum ini, mengenai batasan usia anak penulis lebih mengacu pada Undang-Undang tentang Perlindungan Anak sebagaimana relevan dengan judul yang penulis teliti.

b. Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pencabulan

Perlindungan terhadap anak korban kekerasan merupakan fenomena sosial yang memerlukan perhatian kita semua. Dalam kasus yang akhir-akhir ini terjadi, mulai dari penganiayaan yang cukup mendasar tentang bagaimana perlindungan yang bisa diberikan terhadap anak-anak dari berbagai kejahatan yang terjadi.

Perlindungan anak adalah segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, merehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik maupun mental serta sosialnya (Sholeh Soeaidy, 2001: 4).

Sejak tahun 1979 pemerintah telah menetapkan sebuah peraturan untuk meletakkan anak-anak dalam sebuah lembaga proteksi yang cukup aman, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang dengan tegas merumuskan, setiap anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak dalam kandungan sampai dengan sesudah dilahirkan. Dalam undang-undang tersebut, terhadap anak tidak dibenarkan adanya perbuatan yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan. Seorang anak yang tidak dapat diasuh dengan baik oleh orang tuanya dapat mengakibatkan pembatalan hak asuh orang tua.

Langkah pemerintah selanjutnya adalah menetapkan Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 yang diharapkan dapat membantu anak yang berada dalam proses hukum, tetap untuk mendapatkan hak-haknya.

Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (2) dijelaskan pengertian mengenai perlindungan anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan beradaptasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pada Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:

1) Non diskriminasi.

2) Kepentingan yang terbaik bagi anak.

3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan.

4) Penghargaan terhadap pendapat anak.

Pelaksanaan perlindungan anak agar nantinya perlindungan terhadap anak dapat efektif, nasional positif, bertanggung jawab dan bermanfaat haruslah memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :

1) Para partisipan dalam terjadinya dan terlaksanakannya perlindungan anak harus mempunyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak agar dapat bersikap dan bertindak secara tepat dalam menghadapi dan mengatasi permasalah yang berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan anak.

2) Perlindungan anak “harus dilakukan bersama” antara setiap warga negara, anggota masyarakat secara individual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama dan kepentingan nasional.

3) “Kerjasama dan kordinasi” diperlukan dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak yang rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat antara para partisipan yang bersangkutan.

4) Perlunya diusahakan inventarisasi faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak.

5) Harus dicegah adanya penyalahgunaan kekuasaan, mencari kesempatan yang menguntungkan dirinya sendiri dalam membuat ketentuan yang mengatur masalah perlindungan anak.

6) Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

7) Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak, pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta melindungi diri sendiri dan kelak dikemudian hari dapat menjadi orang tua yang berperan aktif dalam kegiatan perlindungan anak.

8) Pelaksanaan kegiatan perlindungan anak tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi pada pihak yang bersangkutan dan oleh karena adanya penimbulkan penderitaan, kerugian pada para pertisipan tertentu.

9) Perlindungan anak harus didasarkan antara lain atas pengembangan hak dan kewajiban asasinya.

B. Kerangka Pemikiran








Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan Bagan:

Perkembangan arus globalisasi yang kian pesat membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya ada pada pekembangan teknologi yang dapat dirasakan oleh siapapun serta arus informasi yang kian cepat. Namun di sisi lain timbul pula dampak negatif dari arus globalisasi yaitu semakin maraknya kejahatan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kemajuan teknologi informasi serta adanya kebebasan pers. Hal tersebut dapat kita lihat pada media cetak maupun elektronik yang bernuansa pornografi. Itu semua dapat menimbulkan kejahatan terutama tindak pidana kesusilaan, khususnya terhadap anak-anak.

Tindak pidana paling rentan dialami oleh anak-anak adalah tindak pidana kesusilaan yang berupa pencabulan, karena anaklah yang paling mudah untuk diperdaya. Hakim adalah pihak yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap seorang terdakwa. Dalam hal ini, hakim memilik kebebasan untuk menjatuhkan putusannya. Meskipun hakim memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut masih dalam batasan hukum. Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan harus disertai dengan berbagai macam pertimbangan. Sehingga dari putusan tersebut terwujud suatu kepastian hukum dan terpenuhinya rasa keadilan bagi semua pihak.

Pertimbangan hakim pada umumnya mencakup sebagai berikut: pembuktian terdakwa, dan apakah telah memenuhi asas minimum pembuktian sesuai Pasal 183 KUHAP. Hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa dari hasil pemeriksaan sidang. hukuman yang patut dijatuhkan kepada terdakwa, serta apakah putusan yang akan dijatuhkan akan memenuhi rasa keadilan bagi korban maupun keluarganya. Disamping hal tersebut pertimbangan hakim juga harus meliputi pertimbangan latar belakang terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi terdakwa dan agama terdakwa. Hal ini dimaksudkan agar putusan yang dijatuhkan sesuai dengan nilai sosiologis, filosofis, maupun seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada komentar: