Selasa, 24 Agustus 2010

DASAR-DASAR FILSAFAT HUKUM

A. Pengertian Filsafat Hukum

- Soetiksno (1976:10),merumuskan: “Filsafat hukum mencari hakikat daripada hukum, yang menyelidiki kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai”.

- L.Bander O.P (1948: 11) : “De rechtsphilosophie of wijsbegeerte van het recht is een wetenschap,die deel uitmaakt van de philosophie”.

- Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979:11) mengatakan “filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai misalnya : penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlalan, dan antara kelanggengan/konservativisme dengan pembaharuan”.

- Menurut Mahadi (1989: 10) : “Falsafah hukum ialah falsafah tentang hukum, falsafah tentang segala sesuatu di bidang hukum secara mendalam sampai ke akar-akarnya secara sistematis”.

- Soerdjono Dirdjosisworo (1984:48) mengemukakan :”filsafat hukum adalah pendirian atau penghayatan kefilsafatan yang dianut orang atau masyarakat atau negara tentang hakikat ciri-ciri serta landasan berlakunya hukum”.

- Van Apeldoorn (1975) menguraikan : “filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan : Apakah hukum ?

- E. Utrecht(1966), mengetengahkan sebagai berikut :”filsafat hukum memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti : Apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan : adanya dan tujuan hukum). Apakah sebabnya maka kita menaati hukum? (persoalan : berlakunya hukum). Apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu (persoalan : keadilan hukum).

- Satjipto Rahardjo (1982:321), menguraikan filsafat hukum itu sebagai berikut: Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”,tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”.

- Gustaf Radbruch (1952) merumuskan : Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedang Langemeyer (1948), menyatakan bahwa filsafat hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum”.

- Penulis lain yaitu Anthoni D Amato (1984:2) menyatakan:”Jurisprudence atau filsafat hukum acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dari pengertian hkum secara abstrak”.

- Bruce D.Fischer (1977:1) : jurisprudence adalah suatu studi tentang filsafat hukum.

Apabila dikaji secara cermat, maka dari perumusan-perumusan tersebut dapat ditarik intinya yaitu:

  1. Pada umumnya mereka sepakat bahwa filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat, yaitu filsafat etika atau moral;
  2. Bahwa yang menjadi obyek pembahasannya adalah hakikat atau inti yang sedalam-dalamnya daripada hukum;
  3. Merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari lebih lanjut setiap hal yang tidak dapat dijawab oleh cabang ilmu hukum.

Menurut asal katanya, filsafat berasal dari kata Yunani “filosofia” merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata”filo” dan “sofia”.Filo berarti cinta (yaitu ingin) dan sofia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian fiosofia berarti cinta akan kebijaksanaan.

Dari isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis filsafat yang dapat ditarik intisarinya bahwa filsafat itu merupakan karya manusia tantang hakikat sesuatu.

Dapat disimpulkan bahwa filsafat itu tiada lain merupakan hasil pemikiran manusia tentang tempat sesuatu di alam semesta dan hubungan sesuatu tadi dengan isi alam semesta lain.

Sebagian dari tingkah laku telah diselidiki secara mendalam oleh filsafat hukum. Hubungan antara filsafat dan filsafat hukum terlihat dalam skema:

Filsafat manusia - Genus filsafatnya

Filsafat etika - Species filsafat

Filsafat hukum - Subspecies filsafat

B. Ruang Lingkup Pembahasan Filsafat Hukum

Pada masa kini, obyek pembahasan filsafat hukum tidak hanya masalah tujuan hukum saja, akan tetapi setiap permasalahan yang mendasar sifatnya yang muncul di dalam masyarakat yang memerlukan suatu pemecahan. Filsafat hukum sekarang merupakan buah pemikiran para ahli hukum (teoritis maupun praktisi) yang dalam tugas sehari-harinya banyak menghadapi permasalahan yang menyangkut keadilan sosial masyarakat. Masalah-masalah hukum seperti:

- Hubungan hukum dengan kekuasaan

- Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya

- Apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang

- Apa sebabnya orang mentaati hukum

- Masalah pertanggung jawaban

- Masalah hak milik

- Masalah kontrak

- Masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat, dll.

banyak memperleh perhatian dan pembahasan para ahli hukum dewasa ini.

C. Perkembangan Filsafat Hukum

1. Zaman Purbakala

Dimulai dengan masa pra-Socrates (disebut demikian oleh karena para filsuf pada masa itu tidak dipengaruhi oleh filsuf besar Socrates), boleh dikatakan filsafat hukum belum berkembang. Alasan utama karena para filsuf masa ini memusatkan perhatiannya kepada alam semesta yaitu tentang bagaimana terjadinya alam semesta ini. Filsuf Thales yang hidup tahun 624-548 SM mengemukakan bahwa alam semesta tarjadi dari air. Anaximandros mengatakan bahw inti alam itu adalah suatu zat yang tak tentu sifat-sifatnya yang disebut to aperion. Anaximenes berpendapat sumber daripada alam semesta ialah udara. Sedang Pitagoras yang hidup sekitar 532 SM menyebutkan bilangan sebagai dasar dari segala-galanya. Heraklitos mengatakan bahwa alam semesta ini terbentuk dari api.

Menurut kaum filsuf alam, tiap manusia itu memiliki jiwa yang selalu berada dalm proses catharsis yaitu membersihkan diri. Setiap kali jiwa manusia memasuki tubuh manusia, maka manusia harus melakukan pembersihan diri agar jiwa tadi dapat masuk ke dalam kebahagiaan.

Kaum Sofist yang lahir pada akhir abad lima dan permulaan abad empat SM menekankan pembedaan antara alam (physis) dan konvensi (nomos). Hukum mereka masukkan ke dalam kategori terahkir karena menurutnya hukum adalah hasil karya cipta manusia (human invention) dan menjustifikasi (membenarkan) kepatuhan pada hukum hanya sejauh memajukan keuntungan bagi yang bersangkutan. Dalam percakapan antara Socrates dan Hippias (sofis) mempertahankan bahwa hukum (law) adalah apa yang sesuai dengan hukum (lawful) identik dengan keadilan (justice) atau apa yang benar (right). Mereka mengakui kaidah hukum (laws) dapat diubah atau dihapuskan.

Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa manusia adalah mahkluk sosial yang dimotivasi oleh perhatian bagi orang lain dan perhatian bagi diri sendiri, yang memperoleh kebahiaan dalam kehidupan sosial. Menurut Plato hukum adalah pikiran yang masuk akal(reason thought, ligismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara (laws,644d). Ia menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerintah (governing power). Sedangkan menurut Aristoteles hukum adalah suatu jenis ketertiban dan hukum yang baik adalah ketertiban yang baik, akal yang tidak dipengaruhi oleh nafsu, dan jalan tengah.

Kaum Stoa yakin akan persamaan semua manusia dalam suatu persekutuan universal dan menolak doktrin perbudakan dari Aristoteles. Mereka memandang alam semsta sebagai suetu substansi organik yang tunggal. Hukum alam merupakan standar yang paling dasarbagi aturan-aturan hukum dan institusi-institusi yang dibuat manusia digabungkan dengan gagasan Aristoteles dan Kristen terwujud dalam suatu tradisi hukum alam dari filsafat hukum pada abad pertengahan yan berpengaruh lama.

Filsafat hukum Cicero menolak bahwa hukum positif dari suatu masyarakat (tertulis atau kebiasaan) adalah standar tentang apa yang adil, bahkan jika hukum tersebut diterima secara adil. Ia juga tidak menerima utiitas semata-mata adalah standar: ”Keadilan itu satu, mengikat semua masyarakat manusia dan bertumpu di atas satu hukum yaitu akal budi yang benar diterapkan untuk memerintah dan melarang. Menurut Seneca, mengenai konsepsinya tantang zaman emas dari manusia yang bebas dosa (human innocense) ,suatu situasi alamiah prapolitik setelah sifat manusia mengalami kemerosotan diperlukan adanya institusi-institusi hukum.

2. Abad Pertengahan

a. Masa Gelap ( The Dark Ages)

Masa ini dmulai dengan runtuhnya kekaisaran Romawi akibat serangan bangsa lain yang dianggap terbelakang yang datang dari utara yaitu suku-suku Germania. Dapat diketahui bahwa pengaruh agama Kristen mulai berkembang pesat disebabkan karena suasana kehidupan suku-suku bangsa waktu itu yang selalu tidak tenteram akibat peperangan yang terus terjadi. Manusia memerlukan adanya ketenteraman dan kedamaian, serta suatu pegangan hidup. Agama Kristen memenuhi tuntutan tersebut.

b. Masa Scolastik

Masa scolastik ini banyak pemikiran hukum lahir namun dengan corak khusus, yaitu dengan didasari oleh ajaran Tuhan yakni ajaran Kristen. Kemudian muncul ajaran baru yang disebut Ecletisisme. Setelah ini muncul masa lain yaitu masa Neo Platonisme dengan Platinus sebagai tokoh terbesar. Platinus mengatakan kita harus berikhtiar melihat Tuhan, sebab melihat Tuhan itu tak dapat hanya dengan berpikir saja akan tetapi harus dengan jalan beribadah. Pandangan ini membuka jalan untuk mengembangkan agama Kristen dalam filsafat. Neo Platonisme ini lahir di Alexandria sebagai tempat pertemuan antara para filsafat Yunani dan agama Kristen. Di antara para bapak gereja, St. Agustibus termasuk yang paling orsinal dan majemuk. Ia menekankan gagasan tentang ketertiban, ”Sejumlah orang banyak yang harmonis” dengan kesan bahwa tertib hukum tidak perlu mewujudkan moral-moral yang adil.

3. Zaman Renaissance

Zaman ini ditandai dengan tidak terikatnya lagi alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan, manusia menemukan kembali kepribadiannya. Terjadi perkembangan teknonologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam lmu-ilmu baru, dll. Pada pertengahan abad 12 muncul teori Thomas Aquinas, menurutnya aturan-aturan hukum adalah peraturan akal budi (ordinances of reason) yang diundangkan bagi kebaikan umum oleh penguasa yang sah (legitimate souvereign). Dibedakan empat jenis hukum: Lex aeterna (hukum abadi,eternal law), Lex divina (hukum ilahi,divine law), Lex naturalis (hukum alam,natural law), Lex humana (hukum manusia,human law). Pada abad 14, Jean Bodin dalam “Lex six livres de la Republique” menekankan bahwa huum tiada lain daripada perintah dari yang berdaulat (raja) dalam menjalankan kekuasaan kedaulatannya. Dalam “De Jure Belli as Pacis” (1625) Grotius menyatakan peperangan yang adil mengprasuposisi (mengandaikan) adanya kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antar negara-negara yang berdaulat, kaidah-kaidah hukum yang demikian mempunyai sebagai asal usulnya dalam hukum alam dan dalam traktat-traktat yang pada gilirannya mengprasuposisi aturan-atran (perintah) dari hukum alam.

4. Zaman Baru

Filsuf hukum yang paling penting dalam abad 17, Thomas Hobbes (1588-1679) memutuskan tradisi hukum alam menimbulkan banyak kontroversi. Montesquieu (1689-1755) , menurutnya kaidah-kaidah hukum adalah relasi-relasi yang perlu timbul dari hakihat hal-hal (benda-benda). Immanuel Kant (1724-1804), menurutnya kaidah hukum melibatkan kewenangan (authority) untuk memaksakan kepatuhan dan untuk menghukum pelanggaran-pelanggaran. Rudolf Stamler (1856-1938) mendefinisikan hukum sebagai kemauan yang mengikat tanpa pengecualian. Fried Karl von Savigny (1779-1861) mengungkapkan hukum seperti juga bahasa timbul secara spontan dalam kesadaran umum (common consciusness) dari suatu masyarakat yang mewujudkan suatu realitas organik (organic being).

5. Zaman Modern

Pada masa ini ada tendensi peralihan,yang tadinya filsafat hukum dari para filsuf, kini beralih pada filsafat hukum dari para ahli hukum. Rudolf von Jhering (1818-1892) mendefinisikan hukum sebagai sejumlah aturan yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara.Seorang teoritisi “Free Law” Eugen Erlich 91862-122) mengatakan pusat dari robot perkembangan hukum tidak terletak dalam legislasi maupun keputusan yudisial, tetapi dalam masyarakat itu sendiri. Sedangkan Hans kelsen membedakan antara yang ada (is) dan yang seharusnya ada (the ought) dan secara konsekuen antara ilmu-ilmu alam dan disiplin-disiplin, seperti ilmu hukum yang mempelajari fenomena normatif. H.L.A Hart, seorang filsuf hukum yang paling berpengaruh dalam dunia berbahasa Inggris pada masa ini dalam “Concept of Law” menyatakan hukum terdiri atas suatu perpaduan aturan-aturan primer (aturan-aturan yan menetapkan kewajiban-kewajiban) dan sekunder (aturan-aturan tentang pengakuan, perubahan, dan peradilan) (union of primary and secondary rules).

D. Filsafat Hukum dan Ilmu-Ilmu Hukum

Hans Nawiasky membagi ilmu-ilmu hukum menjadi Rechtsnormenlehre, rechtssoziologie, dan philosophie. Sedangkan Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto membagi disiplin hukum menjadi ilmu-ilmu hukum, poitik hukum, dan filsafat hukum. Van Apeldorn membagi ilmu pengetahuan hukum itu atas sosiologi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Ada pula yang membagi ilmu-ilmu yang obyeknya hukum itu atas:

- Teori hukum

Mempelajari tentang pengertian-pengertian pokok dan sistematika hukum. Teori hukum dipelajari secara intensif mendahului ilmu hukum positif dan dilanjutkan secara lebih mendasar melalui suatu cabang ilmu yang lain yaitu filsafat hukum.

- Sosiologi hukum

Merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum sebagai suatu gejala sosial. Sebagai suatu cabang ilmu yang masih muda, hingga saat ini belum berkembang sebagaimana yang diharapkan.

- Perbandingan hukum

Merupakan cabang ilmu yang mencari persamaan dan perbedaan antara sistem-sistem hukum yang berlaku dalam satu atau beberapa negara/masyarakat. Kajian ini untuk mengetahui apakah terdapat konsep hukum yang bersifat universal dan apakah perbedaan yang ada merupakan penyimpangan dari konsep itu.

- Sejarah hukum

Mempelajari hukum dari segi sejarahnya mulai dikenal setelah Friedrich Carl von Savigny. Metode ini mencari asal mula suatu sistem hukum dalam suatu negar/masyarakat, perkembangan dari dahulu hingga sekarang.

- Antropologi hukum

Cabang antropologi yang mempelajari hukum sebagai pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Cabang ilmu ini masih muda oleh karena itu belum banyak hasil yang dapat diketengahkan.

- Psikologi hukum

Suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan perkembangan jiwa manusia. Adapun ruang lingkup psikologi hukum meliputi:

a) Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaedah hukum.

b) Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola penyelesaian pelanggaran kaedah hukum.

c) Akibat-akibat dari pola-pola penyelesaian sengketa tertentu (Soerjono Soekanto,1979:11).

Menurut Sudjono Dirdjosisworo (1983:40) ruang lingkup psikologi hukum yaitu:

  1. Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaedah hukum.
  2. Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
  3. Perilaku menyimpang.
  4. Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.

Selanjutnya Sudjono Dirdjosisworo (1983:41-42) dari tulisan Bimo Walgito (1975:13-14) membagi psikpologi khusus antara lain:

a. Psikologi perkembangan.

b. Psikologi sosial.

c. Psikologi pendidikan.

d. Psikologi keprobadian dan typologi.

e. Psychologidifferential dan psikodiagnostik.

f. Psikopatologi.

g. Psikologi kriminal.

h. Psikologi perusahaan.

- Jurimetriks

Suatu cabang ilmu yang menangani masalah-masalah hukum dengan menggunakan matematika dan mekanika. Dalam cara kerjanya banyak digunakan komputer dan simbol-simbol logis. Lahirnya cabang ilmu ini banyak ditentang oleh para ahli hukum karena digunakannya metode-metode ilmu eksak ke dalam ilmu hukum walaupun dengan makna yang tidak sama.

E. Manfaat Mempelajari Filsafat Hukum Dalam Pendidikan Tinggi Hukum

Menurut Mochtar Kusumaatmadja (1975:9), manfaat mempelajari filsafat hukum adalah:

“Mata kuiah filsafat hukum di tingkat terakhir fungsinya untuk menempatkan hukum dalam tempat dan perspektif yang tepat sebagai bagian dari usaha manusia menjadikan dunia ini suatu tempat yang lebih pantas untuk didiaminya. Gunanya untuk mengimbangi efek daripada spesialiasi yang sempit yang mungkin disebabkan oleh program spesialisasi yang dimulai di tahun ke-4”.

Pelajaran filsafat hukum bisa dimanfaatkan secara praktis untuk menjelaskan peranan hukum dalam pembangunan dengan memberikan perhatian khusus pada ajaran-ajaran sociological jurisprudence dan legal realism.

Tidak ada komentar: