Selasa, 24 Agustus 2010

PERBEDAAN UU NOMOR 7 TAHUN 1989 DENGAN UU NOMOR 3 TAHUN 2006 DALAM KEKUASAAN PENGADILAN

PERBEDAAN UU NOMOR 7 TAHUN 1989 DENGAN UU NOMOR 3 TAHUN 2006 DALAM KEKUASAAN PENGADILAN


·      UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989

Pasal 49
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
                                                         
Pasal 50
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
(2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar-Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

Pasal 52
(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.
(2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
Pasal 53
(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di daerah hukumnya.
(2) Selain tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan Tinggi Agama di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan, yang dipandang perlu.
(4) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ayat (2), dan ayat (3), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.


KEWENANGAN PA UU NOMOR 7 TAHUN 1989
Kompentensi absolute (kewenangan) peradilan agama pasca amandemen  Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup besar baik yang bersifat penambahan kewenangan maupun yang bersifat penegasan, sebagaimana  disebutkan dalam pasal 49 “Peradilan Agama bertugas dan bewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara (kalimat perdata tertentu dalam ketentuan yang lama di hapus) di tingkat pertama antara orang- orang yang beragama Islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
h. Shadaqah, dan
i. Ekonomi Syari’ah

Penambahan dan penegasan kewenangan peradilan agama adalah sebagai  berikut:
1. Bidang Perkawinan
Perkembangan kewenangan Peradilan Agama di bidang perkawinan adalah tentang kewenangan pengangkatan anak (pasal 49 huruf (a) angka (20) Undang- Undang No. 3 Tahun 2006). Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, pada satu sisi mempuyai kesamaan pengertian dengan adopsi yang menjadi kewenangan  Peradilan Umum, yakni anak dipelihara dan dididik seperti anak kandung. Pada sisi  lain terdapat perbedaan yang sangat prinip, yakni pengangkatan anak tidak dikenal adanya perubahan status anak dan status nasab anak angkat dari orang tua kandung  kepada orang tua angkat, sedangkan dalam adopsi nasab anak angkat beralih dari orang tua kandung kepada orang tua angkat.
2. Bidang Kewarisan
Hak opsi (pilihan hukum) dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2006 secara tegas dihapus. Dalam angka 1 paragraf 2 Penjelasan Umum Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ditegaskan: “…. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-undang  ini pula , kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: para pihak sebelum  berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hokum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan dinyatakan dihapus” Dengan demikian asas personalitas keislaman dalam perkara waris merupakan kewenangan absolute Peradilan Agama.
3. Bidang Ekonomi Syari’ah
Dalam penjelasan pasal 49 huruf (1) Undang-Undang No. 3 tahun 2006  dijelaskan bahwa “yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau  kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, yang meliputi:
a. Bank syariah
b. Lembaga keuangan mikro syari’ah
c. Asuransi syari’ah
d. Reasuransi syari’ah
e. Reksadana syari’ah
f. Syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
g. Sekuritas syari’ah
h. Pembiayaan syariah
i. Pengadaian syariah
j. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan
k. Bisnis syari’ah

4. Bidang Hisab Rukyat dan Penentuan Arah Kiblat
Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 merumuskan bahwa Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijrah. Pengadilan Agama dapat memberikan nasehat/ keterangan tentang perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat. Sebagai penjabaran maksud pasal 52 A serta penjelasannya dalam diskusi  kegiatan koordinasi dan konsultasi pengangkatan tenaga teknis pelaksanaan rukyat hilal tahun 2006 merumuskan beberapa kesimpulan:
1. penyelenggaraan rukyat hilal dan pelaporan kesaksian rukyatul hilal menjadi    tugas Departemen Agama.
2. Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyatul hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriah.
3. pemberian itsbat kesaksian rukyat hilal dituangkan dalam bentuk penetapan
4. pengadilan agama dapat memberikan ketetapan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.
5. pemberian keterangan mengenai waktu shalat dituangkan dalam bentuk penetapan.

Tata cara pemeriksaan penyumpahan kesaksian rukyat hilal sebagai berikut:
1. Pengadilan Agama menerima laporan perukyat dan mencatatnya dalam daftar yang tersedia untuk itu.
2. Pengadilan Agama membuka sidang kesaksian rukyat hilal di lokasi rukyat atau di kantor Pengadilan Agama.
3. Ketua Pengadilan Agama menunjuk hakim untuk melaksanakan sidang itsbat kesaksian rukyat hilal dengan dibantu oleh seorang petugas.
4. hakim memeriksa perukyat untuk mengetahui apakah perukyat dan kesaksian rukyat hilal telah memenuhi syarat.
5. apabila hakim berpendapat bahwa perukyat dan kesaksiannya telah memenuhi syarat maka hakim memerintahkan kepada perukyat untuk mengucapkan sumpah kesaksian rukyat hilal sebagai berikut: Asyhadu alla ilaha illalloh wa asyhadu anna muhammadarrasululloh, demi Allah saya besaksi bahwa saya telah melihat hilal awal bulan … tahun ini.
6. Hakim Pengadilan Agama kemudian mengitsbatkan kesaksian rukyat hilal tersebut.
7. itsbat kesaksian rukyat hilal tersebut diberikan kepada penanggungjawab pelaksana rukyat hilal.


·           UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006

Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 49
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.

_Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

_Di antara Pasal 52 dan Pasal 53 disisipkan satu pasal bait yakni Pasal 52A, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 52A
Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah.


Kewenangan PA UU Nomor 3 Tahun 2006 :
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006: Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c.  wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f.  zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i.  ekonomi syari'ah.

Penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 :
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya.Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1.  izin beristri lebih dari seorang;
2.  izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun,  dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3.  dispensasi kawin;
4.  pencegahan perkawinan;
5.  penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6.  pembatalan perkawinan;
7.  gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8.  perceraian karena talak;
9.  gugatan perceraian;
10.  penyelesaian harta bersama;
11.  penguasaan anak-anak;
12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14.  putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15.  putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16.  pencabutan kekuasaan wali;
17.  penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan  dalam  hal  kekuasaan seorang wali dicabut;
18.  penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat  kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah  pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "wakaf" adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum  secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
a.  bank syari’ah;
b.  lembaga keuangan mikro syari’ah.
c.  asuransi syari’ah;
d.  reasuransi syari’ah;
e.  reksa dana syari’ah;
f.  obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g.  sekuritas syari’ah;
h.  pembiayaan syari’ah;
i.   pegadaian syari’ah;
j.   dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k.  bisnis syari’ah.

Pasal 50 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
(1)  Dalam hal terjadi sengketa hak milik  atau sengketa  lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek  sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
(2)  Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek  sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

Pasal 52A, berbunyi sebagai berikut:
Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian  rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah.
Penjelasan Pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 :
Ketentuan ini memberi wewenang kepada pengadilan agama  untuk  sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam. Hal ini menghindari upaya  memperlambat  atau  mengulur  waktu  penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di pengadilan agama.
Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.
Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di pengadilan agama.
Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, pengadilan agama tidak perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait dimaksud.

Pasal 52A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 :
Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.

      Pemerintah Republik Indonesia baru saja mensahkan UU No 3/2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 7/1989 tentang peradilan Agama. Amandemen ini memang dirasakan sangat penting, mengingat perkembangan lembaga keuangan syari’ah bergerak cepat, seperti perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, lembaga keuangan miro suariah (BMT), pergadaian syari’ah, dsb.
                  Selama ini, sebelum kasus sengketa dibawa ke Pengadilan Negeri, masalah perselisihan ditangani terlebih dahulu oleh Basan Arbitrase Syariah. Namun, peran dan fungsi Badan Arbitrase ini tidak optimal dan tidak memadai untuk menyelesaikan setiap kasus perselisihan, karena lembaga artbitrase tidak memiliki daya paksa untuk menyeret orang yang digugat ke Pengadilan, sehingga tidak mengherankan jika ratusan bahkan mungkin ribuan kasus gugatan perselisihan di bidang ekonom syariah yang tercecer, karena berada di luar kewenangan Badan Arbitrase Syariah.  Banyaknya kasus gugatan di bidang ekonomi syari’ah yang tidak bisa diselesaikan Badan Atbitrase Syari’ah, karena Badan Arbitrase bukanlah lembaga Pengadilan.
                  Dengan demikian, untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa yang senantiasa muncul, kedudukan lembaga atbitrase ini sangat lemah Dilaporkan saat ini paling tidak ratusan kasus komplain ke bank dan lembaga keuangan syariah yang diajukan ke Bank Indonesia yang tidak bisa ditangani oleh Badan Arbitrase
                  Lemahnya kedudukan arbitrase untuk menyesailan kasus-jasus sengketa karea memang atbitrase adalah lembaga tahkim, bukan lembaga pengadilan itu sendiri. Keputusan arbitrase baru memiliki kekuatan hukum, apabila kedua belah pihak sepakat membawa kasus itu ke Badan Arbitrase Syariah dan mereka sepakat untuk menerima keputusan badan arbitrase tersebut.
                  Yang menjadi masalah adalah gugatan keberatan seringkali berasal dari satu pihak, misalnya dari nasabah yang dirugikan.  Sementara pihak perbankan syari’ah yang digugat, tidak serta merta mau masalah itu dibawa ke lembaga arbitrase. karena hal itu bisa menjadi beban dan menimbulkan kewajiban pembayaran bagi bank syariah. Akibatnya, dalam banyak kasus, persolan sengketa yang merugikan nasabah, terkatung-katung tiada ujungnya, karena masalah itu tidak bisa diselesaikan badan arbitrase, akibat salah satu pihak tidak mau membawanya ke Badan Arbitrase tersebut.
                  Contoh kasus yang langsung saya tangani di sebuah bank syariah X. Bank syari’ah tersebut secara sepihak mengubah harga jual beli murabahah dengan perubahan angka yang signifikan (ratusan juta rupiah)  yang jelas merugikan nasabah. Padahal, dalam syari’ah, perubahan harga ini tidak boleh dilakukan. Perubahan se pihak ini dilakukannya karena nasabah menunda pembayaran. Padahal di bank Islam yang lain yang murni syariah, tidak terjadi perubahan harga, walau ada penundaan pembayaran. 

PENANGANAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
Dengan adanya tambahan kewenangan memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah bagi lembaga Peradilan Agama, di samping merupakan peluang, namun juga sekaligus tantangan. Peluangnya adalah “undang-undang telah memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menangani perkara ekonomi syari’ah”, sedangkan tantangannya adalah : mampukah para hakim Pengadilan Agama menangani perkara ekonomi syari’ah secara cepat, sederhana dan biaya ringan serta adil sesuai dengan amanat undang-undang.
Setelah diundangkannya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tanggal 13 Maret 2006, perkara ekonomi syari’ah sudah mulai diajukan ke Pengadilan Agama, misalnya ke Pengadilan Agama Bukittinggi dan Pengadilan Agama Purbalingga. Perkara ekonomi syari’ah yang diajukan ke Pengadilan Agama Bukittinggi, misalnya, sekarang sudah diputus oleh pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama Padang) dan sedang dalam proses kasasi.
      Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah  diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah.
      Hal ini jelas tidak sesuai dan tidak sinkron dengan syari’ah, karena masalah hukum syariah harus diselesaikan secara syari’ah, bukan dengan hukum perdata yang berasal dari BW peninggalan kolonial Belanda.
      Di sisi lain, pengadilan negeri juga tidak pas untuk menangani kasus sengketa lembaga keuangan syariah. Pasalnya, bagaimana pun lembaga ini memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang terikat dalam akad syariah.
      Pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian sebuah perkara. Selama ini, sebelum amandemen UU Peradilan Agama, memang ada lembaga yang menangani sengketa perekonomian syariah, yakni Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
       Amandemen UU No 7/1989 ini juga membawa implikasi besar  bagi seluruh redaksi akad di lembaga perbankan dan keuangan syari’ah saat ini. Selama ini dalam setiap akad di lembaga ekonomi syariah tercantum sebuah klausul yang berbunyi, “ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.Dengan  amandemen ini maka klasul tersebut dihapuskan dan seluruh format transaksi di bank dan lembaga keuangan syariah harus diubah.
Secara umum    Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap eksistensi Pengadilan Agama. Saat itu masih dikenal istilah “choice of law” atau pilihan hukum. Pilihan hukum disini dimaksudkan bahwa para pihak diperkenankan memilih dasar hukum yang akan dipakai dalam penyelesaian pembagian harta warisan, yang nantinya memberikan konsekuensi terhadap pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili sengketa tersebut. Pilihan hukum disini maksudnya sengketa tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Negeri bila penyelesaiannya tunduk pada hukum Adat atau hukum Eropa (Civil Law) atau dapat diajukan ke Pengadilan Agama bila penyelesaiannya tunduk pada hukum Islam.
Dalam tataran praktek hal tersebut menimbulkan permasalahan ketika terjadi ketidaksepakatan diantara para pihak terhadap dasar hukum yang dipakai dalam penyelesaian tersebut, bahkan para pihak yang bersengketa menunjuk ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama secara bersamaan, sehingga terjadi dua tahap penyelesaian yakni di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri dalam hukum acara terhadap perselisihan plihan hukum tersebut harus menunggu fatwa atau bahkan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, yang memutuskan pengadilan mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa tersebut, yang mana hal tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat. Parahnya lagi di kedua lingkungan atau wilayah Pengadilan tersebut diatas saling mengklaim berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara kewarisan tersebut. Akibat tersebut menjadi fenomena hukum tersendiri, yang pada akhirnya Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah hanya sebatas slogan-slogan pemanis.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama diharapkan untuk memangkas “choice of law” dalam Hukum Kewarisan. Dalam Penjelasan Umum telah dinyatakan “Bahwa Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus”. Menurut harfiah dari Pernyataan dalam Penjelasan Umum tersebut adalah pilihan hukum sudah tidak dimungkinkan lagi. Kewenangan Pengadilan Agama dan choice of law.
Bahwa dengan perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berpengaruh sangat besar baik terkait dengan eksistensi dari Pengadilan Agama maupun dari kewenangannya. Dimana kewenangan Pengadilan Agama diperluas. Sebagaimana dalam Pasal 49 menyatakan “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaiakan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syariah “.
Setelah melihat perkembangan kondisi di masyarakat ternyata terjadi perluasan, maka dimasukkanlah ekonomi syariah ke kompentensi Pengadilan Agama oleh pembuat undang-undang. Dalam kaitannya dengan permasalahan kewarisan, hal tersebut tidak begitu signifikan, karena tidak ada penjelasan bila terjadi permasalahan diantara ahli waris baik yang berbeda agama maupun yang tidak, kemudian yang mempermasalahkan pembagian harta warisan apakah menganut dan tunduk pada hukum islam maupun adat atau eropa, dalam perundangan tersebut tidak diberikan suatu solusi yang dapat menengahi persoalan yang telah mengakar meskipun undang-undang menyatakan pilihan hukum telah dihapus.
Idealitanya aturan tersebut mengatur pembagian warisan yang wajib tunduk hukum Islam (bagi yang Pewarisnya beragama Islam) dan Sistem pembagian sebagaimana dalam Hukum Adat atau Eropa tidak berlaku dan tidak mengikat atau sebaliknya bagi Pewaris yang beragama Non-Islam tunduk pada hukum adat atau eropa dan hukum Islam tidak mengikat. Bukan berarti disini berupaya menghilangkan hukum adat, tetapi dengan alasan efektifitas dan kepastian hukum dari peraturan yang berlaku (sehingga aturan dapat dilaksanakan sesuai kaidah dasarnya), maka konsekuensi itulah yang harus diambil bila menginginkan aturan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif, itupun harus mendapatkan dukungan dari para penegak hukum dengan cara menyatukan pandangan bila dihadapkan dengan perkara waris.
UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-indangan yang mengatur harta benda,  bisnis dan perdagangan secara luas.
Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, b.Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. asuransi syari’ah, d. reasurasi syari’ah, e. reksadana syari’ah, f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan k. bisnis syari’ah
Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah  diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah.
Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989  ini,  penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW(transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik Penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman
Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (PA), maka Peradilan Agama mendapatkan tambahan kewenangan yang sangat strategis. Jika selama ini kewenangan Peradilan Agama sangat terbatas dan hanya menyangkut hukum keluarga dan wakaf, maka sejak disyahkannya perubahaan UU tersebut kewenangan PA menjadi diperluas. Sengketa ekonomi syari'ah telah menjadi bagian dari kewenangan absolut Peradilan Agama. Jika diruntut ke belakang, adanya perluasan kewenangan Peradilan Agama paling tidak disebabkan oleh dua hal.
Pertama, adanya perubahan di tingkat Konstitusi (amandemen UUD 1945) yang berimplikasi pada perubahan Undang- Undang Kekuasaan Kehakiman (UU No 4 Tahun 2004), yang menempatkan Peradilan Agama menjadi salah satu lingkungan kekuasaan kehakiman MA. Selanjutnya, perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan Undang-Undang Peradilan Agama. Di dalam undang-undang yang baru dijelaskan bahwa sengketa ekonomi syari'ah menjadi salah satu dari kompetensi PA, selain kompetensi yang selama ini telah dijalankan.
Kedua, penambahan kewenangan tersebut lebih dilatarbelakangi oleh pesatnya perkembangan ekonomi syari'ah. Ekonomi syari'ah sesungguhnya tidak hanya menyangkut lembaga perbankan saja, tetapi juga menyangkut institusi lain, seperti Lembaga keuangana mikro syari'ah, Asuransi, Reasuransi syari'ah, Reksadana Syari'ah, Obligasi Syari'ah, Pegadaian Syari'ah dan sebagainya.  Menariknya, fakta yang tidak terbantahkan, perkembangan teori dan praktik ekonomi syari'ah ternyata tidak seiring dengan perkembangan perangkat hukumnya. Perangkat hukum ekonomi syari'ah kalah cepat dibandingkan dengan perkembangan dinamika ekonomi syari'ah itu sendiri. Sebagai contoh sampai hari ini dua paket RUU ekonomi syari'ah; RUU Perbankan Syari'ah dan RUU Surat Berharga Syari'ah Negara belum juga mendapatkan pengesahan. Adalah penting untuk diperhatikan, kendatipun ekonomi syari'ah secara normatif bersandarkan pada nilai-nilai dan norma-norma syari'ah, namun dalam aplikasinya tidak semulus yang dibayangkan. Sebagaimana yang terdapat di dalam praktik ekonomi konvensional, potensi konflik dan ketegangan cukup terbuka lebar di dalam pelaksanaan ekonomi syari'ah. Adakalanya konflik terjadi pada masalah pelaksanaan akad, penafsiran isi suatu perjanjian atau juga dapat disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para pihak terkait. Selama ini penyelesaian perkara sengketa ekonomi syari'ah berlangsung pada di pengadilan niaga atau terkadang ditangani pengadilan negeri. Sedangkan sengketa Perbankan Syari'ah diselesaikan melalui Basyarnas (Badan Arbitrase Nasional). Sebabnya adalah fatwa-fatwa DSN selalu menyebutkan penyelesaian sengketa perbankan syari'ah, asuransi syari'ah dan beberapa bidang lain dilakukan Basyarnas. Dua hal di atas menyemangati diperluasnya kewenangan Peradilan Agama yang oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 telah diberi amanah utuk "memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syari'ah (pasal 49). Tentu saja amanah undang-undang tersebut menuntut kesiapan Peradilan Agama dari berbagai sisi. Paling tidak ada tiga aspek yang perlu diperhatikan; aspek sumber daya manusia, aspek sarana dan prasarana dan aspek hukum materiil. Di antara tiga aspek tersebut, aspek hukum materiil dipandang sangat mendesak.  Sampai hari ini, agaknya hanya bidang perbankan syari'ah yang telah memiliki payung hukum yang sedikit lebih tegas dan jelas lewat Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Sedangkan masalah asuransi syari'ah, reasuransi, pegadaian syari'ah, reksadana syari'ah, obligasi syari'ah, pasar modal syari'ah dan berbagai institusi lainnya belum memiliki payung hukum yang kuat. Kalaupun ada, aturan-aturan hukum tersebut tersebar ke dalam berbagai tempat. Ada dalam bentuk Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, regulasi BI, kitab-kitab fikih dan fatwa-fatwa ulama kalsik dan kotemporer. Jadi belum terkumpul menjadi satu.
Secara yuridis, badan Peradilan Agama telah mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili dan memutus perkara  sengketa ekonomi syari’ah yang  meliputi antara lain  bank syari’ah berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun  2006  sebagaimana tersebut dalam pasal 49 berikut penjelasannya. Sehingga kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah  yang tepat adalah pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agma.                              
Penyelesaian  sengketa perbankan  syari’ah  dilakukan oleh  Pengadilan umum dengan alasan karena transaksi terkait dengan perbankan syari’ah bersifat  komersial adalah  suatu alasan  yang keliru dalam memahami  ekonomi  syari’ah secara utuh. Justru  dari berbagai aspek yang dikembangkan  dalam ekonomi syari’ah  adalah bersifat komersial yang dilandasi  prinsip syari’ah, bukan komersial yang konvensional ataupun liberal. Oleh karena transaksi terkait dengan perbankan bersifat komersial yang dilandasi  prinsip syari’ah, maka penyelesaian  terhadap sengketa perbankan syari’ah lebih tepat menjadi  kewenangan absolut  Peradilan Agama.
Demikian juga  upaya-upaya alternatif  yang ditempuh sebelum   penyelesaian sengketa diserahkan ke pengadilan,  terakhir melalui mekanisme  arbitrase syari’ah, maka pengadilan  yang akan menyelesaikan  sengketa tersebut tentunya Pengadilan  yang aparatur hukumnya memilki basis keilmuan ataupun spesifikasi  bidang ilmu syari’ah.  Sebab  segala urusan pekerjaan  yang diserahkan kepada yang bukan ahlinya  akan mengalami saat  kehancuran ( idza  wusida al amru fi ghoiri ahlihi fantazhiru as-sa’ah). Dan oleh karena  sengketa ekonomi syari’ah  menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama sebagaimana  ketentuan  U.U. No. 3 tahun 2006,  maka segala bentuk perundang-undangan  yang mengatur  hal-hal  yang berdasarkan prinsip syari’ah  termasuk  penanganan  sengketa  perbankan syari’ah, tepatnya dilakukan oleh Peradilan Agama.           
Dari segi syar’iyah,  tujuan  syaria’at  Islam untuk melindungi (menolak) dari bahaya  atau mafsadat dan menciptakan   kesejahteraan dan kemaslahatan  umat yang dikemas dalam  prinsip rahmatan lil’alamin (menjadi rahmat bagi  sekalian alam).  Oleh karena itu dalam  subyek hukum bagi Peradilan Agama   yang menyebutkan “ bagi orang-orang yang beragama Islam” adalah  termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama  ( penjelasan pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006). Sehingga para nasabah yang non muslim  yang  mengikuti aktivitas  dalam menggunakan jasa perbankan  berdasarkan prinsip syari’ah, jika terjadi kasus maka  sengketanya diselesaikan di Penadilan Agama.

Tidak ada komentar: