oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.[2]
PENGANTAR
Di antara agenda reformasi yang penting yang disuarakan rakyat yang dipelopori oleh para mahasiswa adalah agenda reformasi hukum dan politik. Di dalamnya tercakup pengertian reformasi ketatanegaraan (institutional reform) yang harus segera diwujudkan. Penataan kembali mekanisme kelembagaan negara kita itu perlu dituangkan dalam rangka agenda perubahan UUD 1945 yang selama lebih dari 50 tahun belum pernah dapat disentuh oleh ide perubahan. Karena itu, gagasan untuk melakukan reposisi dan restrukturisasi lembaga-lembaga tinggi negara kita perlu dirumuskan dengan sebaik-baiknya, termasuk mengenai lembaga kepenasehatan yang berdasarkan UUD 1945 dinamakan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). DPA sebagai salah satu lembaga tinggi negara memang jarang dibahas oleh para pakar, karena itu pengetahuan mengenai tugas dan fungsi serta kegunaan teknis lembaga ini dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia kurang banyak dipahami. Karena itu, tidak aneh jika – dalam suasana eforia reformasi dan kebebasan berpendapat serta kegairahan luar biasa di kalangan masyarakat untuk mengadakan perubahan demi perubahan dalam sistem ketatanegaraan kita – muncul pula gagasan untuk meniadakan DPA itu sama sekali dari sistem ketatanegaraan kita di masa depan.
Sehubungan dengan itu, Badan Pekerja MPR telah menyelesaikan sebagian materi rancangan Perubahan UUD 1945 dimana di dalamnya dirumuskan alternatif pengaturan dasar mengenai lembaga Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia. Salah satu alternatifnya ialah penghapusan ketentuan mengenai DPA, dan atas dasar itu berarti lembaga DPA dihapuskan dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia di masa mendatang. Sedangkan alternatif yang lain adalah dengan meningkatkan kedudukan dan peranan DPA sebagai salah satu lembaga tinggi negara yang penting dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945. Karena itu, sebagai konsekwensi alternatif kedua ini, penting untuk dipikirkan mengenai perubahan atau pembaruan terhadap materi UU No. 3 Tahun 1967 sebagaimana telah diubah dengan UU No.4 Tahun 1978 tentang Dewan Pertimbangan Agung.
LATAR BELAKANG SEJARAH
UUD 1945 mengenal 5 lembaga tinggi negara, yaitu Presiden/Wakil Presiden, DPR, BPK, dan MA, ditambah 1 lembaga penjelmaan kedaulatan rakyat, yaitu MPR. Kecuali MPR, kelima lembaga lainnya dapat dibandingkan dengan lembaga-lembaga sejenis yang ada di negeri Belanda, yaitu Kepala Negara (Ratu) dan Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri), Staten Generaal (parlemen), ‘Rekenkamer’ (Pemeriksa Keuangan), Raad van Staat (Dewan Pertimbangan Negara), dan Hoge Raad (Mahkamah Agung). Menjelang Indonesia merdeka ketika masih berada di bawah jajahan Belanda, kelima jenis lembaga tersebut juga ada di daerah kekuasaan Hindia Belanda, yaitu Gubernur Jenderal, Volksraad (parlemen), ‘Landraad’ dan ‘Raad van Justitie’ (Pengadilan), ‘Rekenkamer’ (Pengawas Keuangan), dan ‘Raad van Nedelandsch Indie’ (Dewan Hindia Belanda). Karena itu, dapat diduga bahwa pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat dalam UUD 1945 dipengaruhi oleh contoh adanya ‘Raad van Staat’ di negeri Belanda ataupun ‘Raad van Nedelendsch Indie’ di masa penjajahan. Ketika Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 dirumuskan, lembaga DPA ini tidak dicantumkan lagi dalam UUD, karena dianggap tidak diperlukan lagi.
Keberadaan lembaga penasehat seperti ‘Raad van Staat’ ini, memang dapat ditemukan di beberapa negara Eropah yang menganut sistem kerajaan. Pada mulanya, lembaga penasehat ini dibentuk oleh Raja atau Ratu untuk kepentingan kekuasaannya, terutama untuk mendampingi dan memberikan nasehat-nasehat dalam melakukan berbagai kegiatan kenegaraan. Biasanya lembaga ini langsung diketuai oleh Raja atau Ratu sendiri, sehingga kedudukannya dapat dikatakan cukup penting[3]. Bahkan dalam perkembangannya, lembaga penasehat ini juga diberikan kewenangan untuk memberikan nasehat dalam hubungannya dengan pembentukan berbagai peraturan yang akan ditetapkan Raja atau Ratu. Perkembangan demikian inilah yang menimbulkan doktrin ‘King or Queen in Council’ dan ‘Orders in Council’ di Inggeris. Tetapi setelah muncul dan berkembangnya lembaga parlemen di beberapa negara Eropah, fungsi lembaga penasehat seperti ‘Raad van Staat’ terutama di bidang legislatif beralih ke lembaga parlemen[4]. Setelah itu, doktrin ‘King or Queen in Council’ dan ‘Orders in Council’ berubah menjadi ‘King or Queen in Parliament’ dan ‘Act in Parliament’[5].
Ketika ‘Raad van Staat’ pertama kali didirikan di negeri Belanda oleh Raja Karel V pada tahun 1531, lembaga penasehat ini ditunjuk sebagai badan penasehat bagi wali negara yang memerintah atas nama Raja. Tetapi dalam perkembangannya, peran lembaga penasehat ini sangat tergantung kepada sikap Raja atau Ratu. Karena itu, setelah terjadinya revolusi dan reformasi di beberapa negara yang berhasil membatasi kekuasaan Raja atau Ratu, peran lembaga penasehat juga turut memudar, antara lain karena perannya digantikan oleh lembaga parlemen yang pada umumnya dibentuk sebagai hasil dari revolusi. Itu sebabnya, di beberapa negara seperti Perancis, misalnya, ‘Counseil du Roi’ yang ada sebelumnya yang merupakan lembaga penasehat Raja, setelah revolusi Perancis (1789) ditiadakan sama sekali, dan perannya digantikan oleh parlemen. Baru beberapa waktu kemudian, setelah disadari, ada fungsi-fungsi tertentu yang tidak mungkin dilakukan oleh parlemen, maka di Perancis oleh Napoleon Bonaparte dibentuk ‘Counseil d’Etat’ sebagai pengganti ‘Council du Roi’ yang menjalankan fungsi kepenasehatan terhadap pemerintah. Itu juga sebabnya mengapa kadang-kadang ‘Counseil d’Etat’ dianggap sebagai ciptaan Napoleon Bonaparte belaka.
Ketentuan mengenai ‘Counseil d’Etat’ di Perancis ini juga turut mempengaruhi pengaturan mengenai kedudukan dan fungsi lembaga penasehat yang ada di negeri Belanda. Seperti kita ketahui, kerajaan Belanda pernah dijajah Perancis selama beberapa waktu sampai mendapat kemerdekaan pada tahun 1814. Setelah itu, kedudukan lembaga penasehat ini juga terus mengalami perkembangan bersamaan dengan terjadinya berbagai perkembangan ketatanegaraan kerajaan Belanda. Bahkan, dapat dikatakan bahwa, meskipun telah terjadinya pembaruan-pembaruan politik dan ketatanegaraan selama 4 abad, dan terutama sejak sistem pemerintahan parlementer mulai dipraktekkan di kerajaan Belanda pada tahun 1848, keberadaan ‘Raad van Staat’ tetap dipertahankan dengan penyesuaian-penyesuaian tugas dan fungsinya. Dengan berkembangnya sistem pemisahan kekuasaan (separation of power), maka lembaga penasehat raja yang dulunya memiliki kewenangan yang sangat luas, dipecah-pecah ke dalam beberapa fungsi yang dilembagakan ke dalam beberapa lembaga tiggi negara, seperti menjadi lembaga permusyawaratan antar perwakilan rakyat, lembaga permusyawaratan antar perwakilan para bangsawan, lembaga pengawas keuangan, dan lembaga pengadilan. Gejala ini timbul di hampir seluruh negara Eropah. Dalam sistem parlemen bikameral seperti di Inggeris, misalnya, lembaga permusyawaratan perwakilan rakyat disebut ‘House of Commons’, dan lembaga permusyawaratan para bangsawan disebut ‘House of Lords’[6]. Selain itu, juga dibentuk lembaga pengawas keuangan yang di negeri Belanda disebut Rekenkamer, dan kemudian lembaga pengadilan yang juga dipisahkan tersendiri, yaitu di Belanda disebut ‘Hoge Raad’ atau di Inggeris disebut ‘Supreme Court’. Memang banyak pihak yang mengusulkan penghapusan lembaga ‘Raad van Staat’, karena fungsinya telah dibagi habis. Akan tetapi, di negeri Belanda, lembaga ini tetap dipertahankan, dan sejak tahun 1848 fungsi kepenasehatannya ditentukan tidak semata-mata untuk kepentingan Raja atau Ratu, tetapi juga untuk kepentingan Pemerintah (Perdana Menteri). Meskipun demikian, kedudukan Raja atau Ratu tetap dipertahankan sebagai Ketua Raad, meskipun sifatnya hanya simbolis. Fungsinya, agak mirip dengan ‘Council d’Etat’ di Perancis, yaitu untuk memberikan nasehat atau pertimbangan-pertimbangan kepada Raja/Ratu dan kepada Pemerintah dalam menyelenggarakan tugas-tugas kenegaraan, termasuk untuk mengusahakan agar rancangan-rancangan UU (wet) dan Peraturan yang akan ditetapkan oleh Raja/Ratu (algemene maatregel van bestuur) selalu bersifat harmonis antara satu sama lain.[7]
Di Hindia Belanda dulu (Indonesia), lembaga penasehat itu dinamakan ‘Raad van Nedelandsch Indie” dengan tugas dan kewenangan yang mencakup: (a) memberikan nasehat atau pertimbangan-pertimbangan kepada Gubernur Jenderal mengenai hal-hal yang wajib dimintakan nasehatnya oleh Gubernur Jenderal, (b) memberikan nasehat mengenai hal-hal tertentu yang dianggap penting oleh Gubernur Jenderal, dan © memberikan persetujuan sebelum Gubernur Jenderal menetapkan kebijakan atau mengambil tindakan-tindakan tertentu, seperti pelaksanaan hak istimewa Gubernur Jenderal (exorbitante rechten) dalam memberikan amnesti dan abolisi terhadap raja-raja pribumi dan penyelesaian sengketa kewenangan antara kekuasaan peradilan dengan pemerintah atau antar berbagai kekuasaan peradilan[8], dan sebagainya. Karena sifat perannya sebagai nasehat, maka Gubernur Jenderal dapat menerima atau menolak pendapat ‘Raad van Nedelandsch Indie’. Penolakan oleh Gubernur Jenderal harus diberitahukan resmi kepada Raad, termasuk mengenai alasan-alasannya. Dengan adanya ketentuan ini, berarti antara Gubernur Jenderal dan Raad dapat timbul perbedaan pendapat. Untuk mengantisipasi hal itulah maka dalam Pasal 23 Indische Staatsregeling (IS) yang berfungsi menjadi semacam ‘UUD’ Hindia Belanda, ditentukan bahwa perselisihan antara Raad dengan Gubernur Jenderal diselesaikan dengan keputusan Raja/Ratu di negeri Belanda. Sudah tentu, jika ‘Raad van Indie’[9] ini dipersamakan dengan DPA, dan Gubernur Jenderal diidentikkan dengan Presiden, Ratu Belanda seharusnya dapat diidentikkan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut sistem UUD 1945. Tetapi, tentu saja hal ini tergantung kepada bagaimana kewenangan-kewenangan DPA itu ditentukan dalam UUD 1945 dan dalam UU yang mengatur mengenai DPA.
Ketika UUD Proklamasi Tahun 1945 dirumuskan, keberadaan DPA itu dirumuskan sebagai Dewan yang berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada Pemerintah. Seperti diusulkan semula oleh Muhammad Yamin, nama dewan ini mulanya disebut ‘Majelis Pertimbangan’[10]. Tetapi dalam rancangan naskah yang disusun oleh Hossein Djajadiningrat, Soepomo, Soewandi, Singgih, Sastromuljono, Soetardjo dan Soebardjo, dewan ini dinamakan ‘Badan Penasehat Agung’. Tetapi, seperti dikemukakan oleh Bagir Manan, dalam naskah yang akhirnya disahkan, istilah yang dipakai adalah Dewan Pertimbangan Agung dengan fungsi seperti tersebut di atas, yaitu (a) memberi jawaban atas pertanyaan Presiden, dan (b) berhak memajukan usul kepada Pemerintah[11]. Dalam sistem ketatanegaraan yang menempatkan kedudukan parlemen sebagai lembaga yang mencerminkan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan kenegaraan, kedudukan lembaga penasehat ini memang tidak lagi dikaitkan dengan fungsi kontrol terhadap kekuasaan. Akan tetapi, untuk memelihara kewibawaannya sebagai lembaga yang terhormat, lembaga ini tidak selayaknya untuk ditempatkan di bawah kewibawaan pemerintah ataupun kepala negara. Oleh karena itu, tidak salah untuk mengatur adanya jaminan-jaminan konstitusional dan legal tertentu sehingga lembaga seperti DPA ini dapat menjalankan fungsinya secara efektif sebagai lembaga penasehat yang agung.
MENGAPA DPA PERLU DIADAKAN
Dari uraian tersebut di atas, jelaslah bagi kita bahwa lembaga penasehat ini memang diperlukan dalam sejarah. Gagasan atau keinginan untuk menghapuskan sama sekali keberadaan fungsi penasehat seperti ini juga berkembang dalam sejarah, terutama ketika terjadi perubahan ketatanegaraan besar-besaran di Eropah sebagai akibat reformasi ketatanegaraan mendasar yang menyebabkan sebagian terbesar fungsinya beralih ke lembaga parlemen yang dibentuk dalam rangka mengontrol jalannya kekuasaan pemerintahan. Sekarang dalam rangka agenda reformasi nasional di Indonesia, kita juga mendengar gagasan ini dimunculkan. Misalnya, dapat disebut bahwa dalam rangka amandemen UUD 1945, Prof. Dr. Harun Al-Rasyid, SH[12]., sangat gigih berusaha agar lembaga DPA dibubarkan, karena dianggap tidak ada gunanya sama sekali. Dalam Rancangan Perubahan UUD 1945 yang dihasilkan oleh Badan Pekerja MPR, alternatif penghapusan ketentuan mengenai DPA ini juga masih tercantum secara resmi[13]. Artinya, masih ada kemungkinan bahwa Sidang MPR yang akan datang akan menghapuskan ketentuan mengenai DPA ini sama sekali dari perumusan UUD 1945, seperti tercantum dalam rumusan materi rancangan perubahan UUD 1945. Alternatif ketentuan mengenai DPA ini adalah penghapusan Bab tentang DPA dan menggantinya dengan satu pasal pengganti yang dimasukkan ke dalam Bab tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, dan diusulkan dirumuskan menjadi “Presiden dapat membentuk badan penasehat yang bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden sesuai dengan kebutuhan menurut ketentuan yang ditetapkan oleh UU”.[14]
Jika kita membaca uraian Soepomo tanggal 15 Agustus 1945 dalam persidangan BPUPKI, DPA nampaknya memang disusun dengan menggunakan ‘Raad van Staat’ di negeri Belanda yang di Indonesia (Hindia Belanda) disebut ‘Raad van Nedelandsch Indie’ sebagai referensinya[15]. Sudah tentu, dengan menjadikan ‘Raad van Staat’ itu sebagai referensi, tidak berarti DPA dapat diidentikkan sepenuhnya dengan lembaga penasehat Ratu/Raja Belanda itu. Jika tidak perlu, kita tidak harus mengaturnya sama dengan ‘Raad van Staat’ ataupun dengan ‘Raad van Nedelandsch Indie’. Akan tetapi, yang penting adalah bahwa lembaga penasehat itu diberikan tugas dan kewenangan yang cukup berarti, sehingga DPA itu tidak sama dengan lembaga penasehat yang biasa dibentuk oleh Presiden berupa dewan-dewan ataupun komisi-komisi yang bersifat kepenasehatan yang serupa. Seperti dikemukakan di atas, antara ‘Gubernur Jenderal’ dan ‘Raad van Nedelandsch Indie’ di zaman Hindia Belanda dapat saja timbul sengketa, karena kedudukannya sederajat. Dalam hal demikian, penyelesaiannya haruslah melihatkan putusan lembaga yang lebih tinggi, yang dalam sistem UUD 1945 ialah MPR. Jika ada orang yang berpendapat bahwa DPA sebaiknya dibubarkan karena kedudukan dan peranannya tidak cukup penting, maka kata kuncinya justru terletak pada pengaturan UUD mengenai kedudukan DPA itu dalam sistem ketatanegaraan kita. Maka sebaiknya, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana DPA dapat diberikan kewenangan yang lebih kuat dari yang ditentukan dalam UUD 1945 yang sekarang. Namun, sebelum membahas usulan mengenai peningkatan kedudukan dan peranan DPA itu, ada baiknya diyakini bahwa keberadaan DPA itu sendiri memang diperlukan dalam sistem ketatanegaraan kita. Beberapa hal yang dapat diajukan untuk mendukung keseimpulan demikian dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Pertimbangan Historis-Pragmatis
Dalam UUD 1945, DPA adalah lembaga tinggi negara. Ia bukan kantor kementerian yang dapat seenaknya didirikan dan dibubarkan tanpa alasan yang didasarkan atas argumentasi yang kokoh, dan alasan pembubarannya memang sangat penting, sehingga jika tidak dibubarkan dapat membahayakan kedudukan negara dan sistem konstitusi kita. Kalaupun kedudukannya belum cukup kokoh dalam sistem ketatanegaraan kita sekarang, maka yang perlu dipikirkan justru bagaimana kedudukannya diperkokoh. Sebagai lembaga tinggi negara, DPA telah berdiri sejak tahun 1945, yaitu pertama kali dibentuk dengan pengumuman Pemerintah tertanggal 25 September 1945[16]. Pada waktu itu jumlah anggotanya hanya sebelas orang dan diketuai oleh Margono Djojohadikusumo hanya untuk waktu singkat sampai ia mengundurkan diri pada tanggal 6 Nopember 1945 dan digantikan oleh Wiranatakusumah pada tanggal 29 Nopember 1945. Selama periode revolusi fisik sampai tahun 1949, memang tidak banyak yang dapat dinilai mengenai keberadaan lembaga DPA ini. Apalagi di bawah Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, memang tidak dikenal adanya lembaga DPA.
Barulah setelah kita kembali ke UUD 1945, keberadaan DPA timbul lagi, yaitu dibentuk dengan Penetapan Presiden No.3 Tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959. DPA Sementara ini diketuai langsung oleh Presiden Soekarno seperti ‘Raad van Staat’ di negeri Belanda. Tetapi, Wakil Ketua DPAS ini diberikan kedudukan oleh Presiden sebagai eks-officio Menteri. Kedudukan Menteri eks-officio ini baru dihilangkan setelah tahun 1966, yaitu dengan Penetapan Presiden No.3/1966, tetapi ketuanya tetap dijabat oleh Presiden. Pengaturan yang lebih lengkap mengenai DPA ini baru terjadi setelah diundangkannya UU No.3/1967 pada tanggal 5 Mei 1967, yang kemudian disempurnakan dengan UU No.4/1978. Tetapi, ketentuan yang diatur dalam UU No.4/1978 inipun banyak yang perlu dikaji kembali, jika kita sungguh-sungguh menginginkan meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi lembaga penasehat yang dinamakan DPA ini dalam mekanisme ketatanegaraan Indonesia di masa depan. Namun, terlepas dari kelemahan-kelemahan kedudukannya selama ini, DPA ini merupakan produk sejarah yang panjang, dan karena itu tidak ada alasan untuk membubarkannya. Oleh sebab itu, jika kita berpikir pragmatis, maka yang harus dijawab lebih dulu adalah untuk kepentingan apa DPA harus dibubarkan. Jika pernyataan ini tidak dapat dijawab secara signifikan, maka pertanyaan untuk apa DPA dipertahankan tidak perlu lagi diajukan, melainkan cukup memikirkan mengenai bagaimana meningkatkan kedudukan dan peranan DPA itu dalam sistem ketatanegaraan kita di masa mendatang.
2. Pertimbangan Realitas Empiris
Pada kenyataannya, lembaga DPA itu terutama sejak Orde Baru terus menerus telah didirikan secara periodik dan telah menjalankan tugasnya yang sedikit banyak banyak sudah dimanfaatkan sesuai ketentuan yang berlaku oleh Presiden selama ini. Di pihak lain, sejak dari zaman Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden B.J. Habibie, dan bahkan sekarang di zaman Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden lembaga-lembaga penasehat yang bersifat ektra-konstitusional ini juga dibentuk dengan nama yang bermacam-macam seperti dewan, komisi, tim, dan sebagainya. Presiden B.J. Habibie, misalnya – meskipun periode pemerintahannya sangat pendek – juga membentuk beberapa dewan yang bersifat penasehat ini. Untuk menangani penyelesaian masalah Aceh, dibentuk Komisi khusus yang diketuai oleh Ir. Usman Hasan. Untuk mengkaji dan memberikan pertimbangan-pertimbangan konseptual kepada Presiden mengenai berbagai agenda reformasi menuju masyarakat madani, dibentuk Tim Nasional yang tersendiri pula. Di bidang ekonomi, juga diangkat beberapa penasehat Presiden seperti Widjojo Nitisastro, Frans Seda, dan sebagainya. Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, juga dibentuk beberapa lembaga penasehat dan bahkan mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew diangkat pula oleh Presiden sebagai penasehat. Presiden Abdurrahman Wahid juga membentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim, Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN) diketuai oleh Sofyan Wanandi, Komisi Nasional Hukum dan Perundang-Undangan diketuai oleh Prof. Dr. J.E. Sahetapy; dan lain sebagainya[17]. Artinya, secara empiris, setiap Presiden memang membutuhkan fungsi penasehat yang dapat membantu Presiden melaksanakan tugas-tugasnya.
Dengan demikian, ternyatalah bahwa fungsi kepenasehatan itu memang diperlukan oleh setiap Presiden Republik Indonesia dalam praktek pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Hanya saja sifat nasehat itu dapat dibedakan antara nasehat yang bersifat sukarela dan nasehat yang mengikat. Nasehat yang bersifat sukarela itu bisa datang dari bawahan ataupun dari orang yang sederajat. Akan tetapi, jika nasehat itu diharapkan mengikat, maka kedudukan penasehat tidak boleh berada di bawah kewibawaan yang diberi nasehat. Karena itu, kedudukannya harus diresmikan berada dalam derajat yang sama dengan yang diberi nasehat. Karena itu, dengan logika yang sebaliknya, dapat dikatakan bahwa lembaga penasehat yang sejak semula diharapkan memiliki kedudukan yang sederajat dengan yang diberi nasehat, tentulah dimaksudkan agar nasehat-nasehat yang diberikannya tidak hanya bersifat sukarela, melainkan memiliki daya ikat yang cukup kuat terhadap penerima nasehat. Artinya, sifat nasehat DPA terhadap Presiden atau Pemerintah sudah seyogyanya dipikirkan agar diperkuat dengan daya ikat tertentu. Jika tidak demikian, maka kedudukannya bisa sama saja dengan nasehat atau pertimbangan yang diberikan oleh dewan ataupun komisi-komisi yang dibentuk Presiden secara ekstra-konstitusional seperti yang ada selama ini.
Di samping itu, dalam kebiasaan masyarakat Indonesia sehari-hari, keberadaan lembaga penasehat ini juga selalu terdapat dimana-mana. Hampir semua organisasi kemasyarakat, organisasi politik, dan badan-badan hukum yayasan selalu mempunyai lembaga penasehat yang ditempat di atas struktur kepengurusan. Biasanya, lembaga penasehat ini diduduki oleh tokoh-tokoh yang dianggap berpengaruh atau tokoh-tokoh senior. Untuk sebagian, fungsinya hanya bersifat proforma atau simbolik, tetapi sebagian lainnya memang difungsikan untuk maksud memintakan pertimbangan-pertimbangan mengenai segala sesuatu yang penting berkenaan dengan pelaksanaan tugas-tugas pimpinan organisasi. Kedudukan nasehat dan pertimbangan para penasehat itu, meskipun tidak mengikat, justru ditempatkan dalam derajat yang lebih tinggi daripada pimpinan organisasi. Dengan demikian, kebiasaan membentuk dewan penasehat itu secara empiris, memang mempunyai akar sosiologis yang hidup dalam masyarakat kita di tanah air. Karena itu, keberadaan lembaga DPA itu dalam sistem ketatanegaraan kita juga mempunyai dasar sosiologis yang kuat untuk dipelihara, dengan kemungkinan mempertimbangkan peningkatan kedudukan dan peranannya di masa mendatang sesuai semangat reformasi.
3. Pertimbangan Teknis Ketatanegaraan
Dalam sistem katatanegaraan kita berdasarkan UUD 1945, pada prinsipnya, kedaulatan rakyat Indonesia diorganisasikan ke dalam badan ataupun forum permusyawaratan melalui Majelis permusyawaratan Rakyat. Majelis ini meskipun dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan sebagai pelaku atau pelaksana ‘sepenuhnya’ kedaulatan rakyat, tetapi hak-hak asasi penduduk dan warganegara masih tetap berada di tangan rakyat sendiri, hak untuk mengubah beberapa prinsip dasar dalam konstitusi, seperti Pembukaan UUD dan lain-lain yang ditentukan tersendiri tetap harus dilakukan dengan melibatkan putusan rakyat sendiri secara langsung. Bahkan, akhir-akhir ini, hak untuk memilih sendiri Presiden dan Wakil Presiden juga makin luas berkembang untuk dikembalikan lagi kepada rakyat. Dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga tinggi negara, berkembang pendapat bahwa dari MPR itulah sumber kewenangan atau kekuasaan rakyat itu mengalir atau dibagikan secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah MPR, yaitu lembaga kepresidenan, DPR, BPK, DPA, dan MA. Dari pembagian kekuasaan itu, hanya kewenangan yang pokok saja yang tetap dipertahankan sebagai kewenangan MPR, yaitu: (a) menetapkan UUD[18], (b) menetapkan haluan penyelenggaraan negara lainnya[19], (c) mengubah UUD[20] ataupun haluan-haluan penyelenggaraan negara lainnya[21], ( d) memilih Presiden dan Wakil Presiden[22], dan (c) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah jabatannya apabila terbukti melanggar ‘haluan penyelenggaraan negara’ yang ditetapkan dalam UUD ataupun dalam ketetapan lainnya tersebut[23]. Akan tetapi, ketentuan mengenai keberadaan MPR ini akhir-akhir ini sedang dibahas secara luas sehubungan dengan berkembangnya gagasan untuk mengadakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, serta gagasan untuk mengadakan restrukturisasi lembaga parlemen menjadi dua kamar yang terdiri atas DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Kedua gagasan ini bahkan telah dimuat pula dalam materi rancangan Perubahan UUD yang akan datang. Sehubungan dengan itu, maka fungsi lembaga DPA haruslah dilihat dari dua kemungkinan, yaitu masih dipertahankannya keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara atau MPR ditiadakan dan diubah menjadi sekedar forum majelis tertinggi belaka dalam rangka persidangan bersama antara kedua lembaga parlemen DPR dan DPD itu.
Jika MPR tidak lagi berfungsi sebagai lembaga, maka fungsi kepenasehatan DPA ada baiknya diperluas, tidak saja tertuju kepada Presiden atau Pemerintah, tetapi juga kepada semua lembaga tinggi negara lainnya seperti DPR, DPD, dan BPK. Bahkan fungsi kepenasehatan itu dapat pula ditambah dengan fungsi penyelesaian sengketa antar lembaga tinggi negara. Memang benar, fungsi penyelesaian sengketa itu sebenarnya berkaitan dengan proses hukum dan peradilan, karena itu terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman. Akan tetapi, persengketaan antar lembaga tinggi negara bisa juga terjadi di luar persoalan hukum, atau jika timbul suatu sengketa yang justru tidak dapat diselesaikan secara hukum, maka penyelesaiannya dapat diserahkan pada keputusan DPA.
Bahkan, jika dikehendaki, DPA dapat saja diberikan kewenangan tertentu yang berkaitan dengan hukum dan peradilan. Seperti dikemukakan di atas, ‘Raad van Nedelandsch Indie’ di zaman Hindia Belanda juga diberikan kewenangan di bidang ini, yaitu memberikan persetujuan atau penolakan terhadap kebijakan Gubernur Jenderal untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada raja-raja pribumi, dan menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan pengadilan ataupun antar lembaga pengadilan. Dalam sistem UUD 1945 sekarang, pertimbangan penggunaan hak prerogatif Kepala Negara untuk memberikan amnesti dan abolisi ini berada di tangan Mahkamah Agung. Akan tetapi, khusus dalam perkara yang menyangkut seorang mantan Presiden, tidak salahnya jika kewenangannya diberikan kepada DPA, bukan kepada MA[24]. Demikian pula dengan sengketa antar lembaga pengadilan, sudah semestinya merupakan kewenangan mutlak Mahkamah Agung. Akan tetapi, sengketa antara Presiden/Pemerintah dengan MA, sebaiknya ditentukan bahwa penyelesaiannya dapat dilakukan dengan putusan DPA. Demikian misalnya, jika terjadi sengketa kewenangan antara DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), penyelesaiannya sebaiknya dilakukan oleh lembaga ketiga, yaitu DPA. Kalaupun MPR sebagai lembaga tertinggi negara tetap dipertahankan, MPR juga bukanlah merupakan lembaga rutin yang dapat mengadakan persidangan setiap waktu, sehingga penyelesaian sengketa antar lembaga tinggi negara tidak dapat segera dilakukan. Disinilah pentingnya keberadaan lembaga DPA yang perlu dilengkapi dengan kewenangan memberikan pertimbangan atau nasehat yang bersifat mengikat.
Harus diakui bahwa dewasa ini berkembang pula kecenderungan untuk memperkuat kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, bukan saja dengan menambahkan tugas-tugas dan kewenangan baru, tetapi juga timbul pula kecenderungan untuk merutinkan tugas-tugas MPR melalui penguatan kedudukan Badan Pekerja MPR, dan dengan menetapkan adanya institusi Sidang Tahunan yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya. Bahkan, dalam salah satu perdebatan di sidang BP MPR, telah pula diterima prinsip bahwa Badan Pekerja MPR, terutama Panitia Ad Hoc 1 akan melengkapi diri dengan kewenangan ‘legislative review’ terhadap materi UU. Padahal, kewenangan ‘legislative review’ ataupun ‘judicial review’ terhadap materi UU itu merupakan kewenangan yang bersifat tetap dan memerlukan kelembagaan yang memiliki kewenangan mandiri, sementara Badan Pekerja MPR dan apalagi Panitia Ad Hoc pada prinsipnya bukanlah lembaga yang memiliki kewenangan mandiri dan malah sifat pekerjaannya tidak tetap, tidak permanen, dan sesuai dengan namanya bersifat ad-hoc[25]. Jika kecenderungan ini terus berlangsung dan tidak ada pengendalian terhadap kinerja para anggota MPR, bisa saja lembaga seperti DPA ini tidak akan mendapat bagian kewenangan tambahan apapun dalam mekanisme hubungan antar lembaga-lembaga tinggi negara. Sudah seharusnya dapat dipahami bahwa lembaga MPR itu bukanlah lembaga rutin, dan karena itu, terhadap hal-hal yang memang diperlukan berkenaan dengan pertimbangan-pertimbangan yang mengikat, terutama yang ditujukan kepada Presiden, sebaiknya diserahkan saja menjadi kewenangan DPA atau lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Jika MPR sebagai lembaga tertinggi negara akan dipertahankan, maka MPR cukuplah hanya melaksanakan fungsi sebagaimana ditegaskan dalam UUD, yaitu (a) menetapkan atau mengubah UUD, (b) menetapkan garis-garis besar haluan penyelenggaraan negara, (c) memilih Presiden dan Wakil Presiden, (d) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya apabila terbukti melanggar haluan penyelenggaraan negara yang ditetapkan dalam UUD atau dalam ketetapan-ketetapan lain[26].
Dalam perkembangan dewasa ini, memang berkembang gagasan mengenai mekanisme peradilan konstitusi yang dikenal di beberapa negara. Kewenangannya dapat dikaitkan dengan dengan penyelesaian persengketaan dalam penafsiran konstitusi yang berhubungan pelaksanaan tugas-tugas lembaga tinggi negara. Jika lembaga tertinggi MPR tetap dipertahankan, maka fungsi penyelesaian sengketa seperti itu mutlak harus dikaitkan dengan MPR, karena MPR-lah yang dianggap paling mengetahui penafsiran terhadap putusannya sendiri. Akan tetapi, jika lembaga tertinggi MPR tidak ada, kewenangan seperti itu dapat dikaitkan dengan MA, dibentuk Mahkamah Konstitusi tersendiri, atau dapat pula dikaitkan dengan lembaga DPA yang beranggotakan para tokoh yang dianggap paling berpengalaman dalam berurusan dengan berbagai masalah kenegaraan. Karena itu, pengaturan mengenai kedudukan dan kewenangan DPA ini dalam UUD dan dalam UU sangat tergantung kepada perkembangan gagasan mengenai restrukturisasi MPR yang akan datang. Namun, terlepas dari soal itu semua, yang jelas secara teknis ketatanegaraan harus diakui memang terdapat beberapa hal-hal tertentu yang tidak dilakukan atau tidak dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga tinggi negara yang lain, tetapi dapat dilakukan oleh lembaga DPA. Karena itu, saya berpendapat lembaga DPA justru harus diperkuat kedudukannya, tidak saja untuk memberikan nasehat dan pertimbangan sukarela kepada Presiden dan Pemerintah, baik atas permintaan ataupun atas inisiatifnya sendiri, tetapi juga diberi kewenangan untuk memutuskan suatu pertimbangan yang mengikat. Jika dalam pelaksanaannya justru DPA berbeda pendapat dengan Presiden ataupun dengan lembaga tinggi negara lainnya, barulah hal itu diserahkan kepada lembaga atau forum yang lebih tinggi yaitu MPR, baik sebagai lembaga tertinggi negara, ataupun hanya sekedar sebagai forum majelis tertinggi negara[27]. Jika MPR tetap dipertahankan seperti sekarang, maka dalam pertanggunjawaban kepada MPR, Presiden wajib melaporkan kepada MPR mengapa ia tidak mengikuti saran, nasehat, dan pertimbangan DPA mengenai soal-soal yang bersangkutan.
KETENTUAN POKOK MENGENAI TUGAS DAN FUNGSI DPA
Dalam Pasal 16 ayat (1) dan (2) UUD 1945 dinyatakan: “(1) Susunan DPA ditetapkan dengan UU”; dan “(2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden, dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah”; Selanjutnya, dalam Penjelasan UUD 1945 dinyatakan: “Dewan ini ialah sebuah ‘Council of State’ yang berkewajiban memberi pertimbangan-pertimbangan kepada Pemerintah. Ia sebuah Badan Penasehat belaka”. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui: Pertama, DPA itu adalah Badan Penasehat Presiden/Pemerintah. Meskipun dalam rumusan ayat 2 Pasal 16 UUD 1945 dibedakan antara kewajiban menjawab kepada Presiden dan hak memberikan usul kepada Pemerintah. Tetapi dalam penjelasan dinyatakan bahwa DPA adalah Badan Penasehat Pemerintah. Artinya, pembedaan istilah Presiden dan Pemerintah dalam ayat 2 tersebut tidaklah bersifat prinsipil, karena Presiden adalah Kepala Pemerintahan, sehingga otomatis nasehat dan pertimbangan yang diberikan oleh DPA kepada Pemerintah harus ditujukan kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Sudah tentu untuk melaksanakan haknya itu, DPA dapat saja mengundang Menteri atau para Menteri ataupun para pejabat tinggi lainnya untuk menghadiri rapat-rapat DPA bilamana keterangan Menteri atau pejabat tinggi yang bersangkutan memang diperlukan oleh DPA. Tetapi dalam komunikasi resmi, sudah seharusnya DPA hanya menyampaikan saran dan usul pertimbangan kepada Presiden, bukan langsung kepada Menteri yang bersangkutan.
Kedua, ayat 2 Pasal 16 itu juga membedakan antara kewajiban dan hak DPA dengan kriteria ada tidaknya pertanyaan atau permintaan pertimbangan dari Presiden. Jika Presiden mengajukan pertanyaan, maka pertanyaan itu wajib dijawab oleh DPA. Jika Presiden tidak bertanya, maka DPA berhak mengajukan usul-usul atau pertimbangan kepada Presiden/Pemerintah. Dengan rumusan demikian berarti, kewajiban DPA itu tergantung kepada ada tidaknya pertanyaan Presiden. Jika Presiden tidak pernah mengajukan pertanyaan, maka DPA tidak mungkin dipersalahkan karena tidak pernah melaksanakan kewajiban. Karena di luar pertanyaan dari Presiden, DPA tidak mempunyai kewajiban, melainkan hanya hak yang dapat digunakan ataupun tidak digunakan. Atas dasar ketentuan Pasal 16 ayat (2) itulah maka dalam Pasal 2 UU No.3/1967[28], tugas DPA hanya ditentukan (a) memberi jawab atas pertanyaan Presiden, dan (b) mengajukan usul kepada Pemerintah. Sudah tentu, dalam prakteknya, hal ini dapat dilihat sebagai kelemahan pengaturan mengenai tugas dan kewajiban lembaga DPA ini. Karena itulah, tanpa didahului oleh perubahan UUD, Sidang Umum MPR Tahun 1978 menentukan dalam Pasal 9 Ketetapan MPR No. III/MPR/1978, yaitu: “(1) DPA adalah sebuah Badan Penasehat Pemerintah; (2) DPA berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden; (3) DPA berhak mengajukan usul dan wajib mengajukan pertimbangan kepada Presiden.” Rumusan pada ayat (3), yaitu ‘wajib mengajukan pertimbangan kepada Presiden’ jelas merupakan elemen baru yang tidak ditentukan sebelumnya dalam Pasal 16 UUD 1945. Hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 2 UU No.4/1978[29] yang menentukan bahwa tugas DPA adalah: “(a) berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden; dan (b) berhak mengajukan usul dan berkewajiban mengajukan pertimbangan kepada Presiden”.
Namun perumusan-perumusan di atas tetap mengandung kelemahan. Hal ini sudah terbukti bahwa selama ini peran DPA tidaklah meningkat seperti yang diharapkan. Jika kita mengharapkan adanya peningkatan, perumusan mengenai kedudukan, fungsi dan tugas DPA harus disempurnakan. Dalam semua rumusan di atas, kedudukan dan fungsi DPA selalu dikaitkan dengan pembedaan antara kewajiban untuk menjawab pertanyaan dan hak untuk mengajukan saran, meskipun tidak ditanya atau diminta. Padahal dalam hukum setiap hak selalu diimbangi oleh kewajiban, dalam hubungan hukum antara para pihak, maka hak dan kewajiban salah satu pihak mengandung konsekwensi atau berhubungan erat dengan hak dan kewajiban pihak lain. Jika dikatakan DPA wajib menjawab pertanyaan Presiden, berarti Presiden berhak mendapatkan jawaban dari DPA atas pertanyaannya. Karena DPA diberi kewajiban, tentu kepadanya juga diberi hak yang ia perlukan untuk melaksanakan kewajibannya itu. Dalam hubungannya dengan Presiden, hak DPA itu bisa menimbulkan kewajiban pada diri Presiden terhadap DPA. Sebaliknya, jika dikatakan bahwa DPA berhak mengajukan usul kepada Presiden, berarti Presiden juga memiliki kewajiban untuk mendengarkan atau menerima usulan tersebut. Memang dapat dipersoalkan bahwa kewajiban Presiden itu bisa saja hanya bersifat prosedural, yaitu bahwa Presiden tidak boleh menolak untuk mendengarkan atau menerima usulan tersebut. Sedangkan isinya tidak mutlak harus diikuti oleh Presiden. Dalam hal demikian, nasehat atau usul dan pertimbangan DPA itu bersifat sukarela dan tidak mengikat. Namun, jika kita menghendaki agar nasehat dan pertimbangan DPA itu efektif, maka dapat ditentukan bahwa meskipun hakikat usul dan pertimbangan itu tidak mutlak mengikat, tetapi dilaksanakan atau tidaknya isi pertimbangan DPA itu haruslah dilaporkan oleh Presiden kepada lembaga yang lebih tinggi, yaitu MPR. Dapat pula ditentukan bahwa apabila Presiden tidak dapat melaksanakan usul-usul DPA itu, maka Presiden diwajibkan untuk menyampaikan alasan-alasannya secara resmi kepada DPA mengapa usul atau pertimbangan DPA itu tidak dapat dilaksanakan oleh Presiden.
Dengan demikian, setiap nasehat, usul dan pertimbangan yang diberikan oleh DPA sebagai lembaga tinggi negara, baik atas permintaan atau pertanyaan Presiden ataupun bukan atas pertanyaan Presiden, sudah seharusnya dipahami mengandung akibat hukum tertentu yang apabila tidak dilaksanakan dapat menimbulkan kewajiban pada Presiden untuk memberitahukannya secara resmi kepada DPA, dan bahkan untuk melaporkannya kepada MPR. Oleh karena itu, dalam rangka perubahan UUD 1945, dapat disarankan bahwa selain unsur tambahan seperti diuraikan di atas dikukuhkan dalam perumusan UUD, sehingga kewajiban konstitusional DPA tidak lagi hanya digantungkan pada ada tidaknya pertanyaan atau permintaan pertimbangan dari Presiden, tetapi juga dilengkapi dengan rumusan ketentuan yang mewajibkan Presiden untuk sungguh-sungguh menanggapi usul dan pertimbangan DPA itu sebagaimana mestinya. Jika hanya mengukuhkan saja ketentuan tambahan tersebut tanpa perincian yang lebih tegas, peran aktual DPA belum tentu akan meningkat, karena tokh selama ini dengan adanya TAP MPR No.III/MPR/1978 dan UU No.4/1978 sajapun kedudukan DPA masih dianggap kurang kuat. Di samping itu, kepada Presiden sebaiknya ditambahkan pula kewajiban yang mengikat bahwa sebelum menetapkan suatu kebijakan tertentu, diharuskan memintakan pertimbangan DPA terlebih dulu. Dengan demikian, akan ada tiga jenis kewajiban memberikan nasehat dan pertimbangan DPA yang dapat dirumuskan dalam UUD, yaitu kewajiban karena adanya pertanyaan sukarela dari Presiden, kewajiban karena adanya permintaan pertimbangan yang bersifat wajib dimintakan oleh Presiden, dan kewajiban karena ditentukan oleh konstitusi berkenaan dengan keadaan-keadaan tertentu yang mengharuskan DPA memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden.
Ketentuan mengenai kewajiban memberikan kewajiban-kewajiban seperti itu sama sekali belum dikaji kemungkinannya untuk dimasukkan ke dalam agenda Perubahan UUD 1945 yang akan datang. Sebagaimana dapat dilihat dalam lampiran Ketetapan MPR No.IX/MPR/2000, materi rancangan perubahan terhadap Pasal 16 UUD 1945 telah dirumuskan dalam 3 pasal, yaitu 16, 16A, dan 16B[30]. Pasal 16 menentukan mengenai komposisi keanggotaan DPA, Pasal 16A mengatur mengenai kewajiban dan hak DPA, dan Pasal 16B menentukan mengenai susunan dan kedudukan DPA ditetapkan dengan UU. Tetapi, rumusan rancangan Pasal 16A mengenai kewajiban dan hak DPA itu masih saja berisi ketentuan seperti yang ada selama ini, yaitu bahwa “Dewan ini berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada Presiden dalam mengatasi masalah-masalah kenegaraan”. Yang baru dalam rumusan ini hanya perkataan ‘dalam mengatasi masalah-masalah kenegaraan’, sedangkan esensi kewajiban dan hak DPA itu masih tetap sama seperti sebelumnya. Oleh karena itu, dalam rangka perubahan UUD dan pembaruan UU tentang DPA, dapat dipertimbangkan bahwa kepada DPA ditentukan adanya kewajiban yang tidak hanya dikaitkan dengan adanya pertanyaan, tetapi ada pula hal-hal yang Presiden sendiri diwajibkan untuk meminta pertimbangan DPA sebelum memutuskan sesuatu kebijakan.
Secara khusus, misalnya, dapat ditentukan bahwa: Pertama, pelaksanaan hak-hak prerogratif Presiden yang biasa dikaitkan dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara, yaitu pemberian amnesti dan abolisi, pengangkatan Duta Besar dan Konsul ataupun penerimaan kridensial Duta Besar dan Konsul negara sahabat. Mengenai amnesti dan abolisi harus diakui merupakan hak Kepala Negara yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman[31]. Karena itu, lazimnya diterima pendapat bahwa sebelum mengambil kebijakan berkenaan dengan hal itu, Presiden terlebih dulu harus memintakan pertimbangan Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman yang sebelumnya telah menjatuhkan vonis kepada yang bersangkutan. Akan tetapi, pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden kepada seorang mantan Presiden, sifatnya sangat khusus. Karena itu, pemberian amnesti dan abolisi kepada seorang mantan Presiden sebaiknya, juga dimintakan dulu ‘persetujuan’ DPA sebagai lembaga yang beranggotakan tokoh-tokoh yang sangat berpengalaman dalam berbagai bidang pemerintahan sebelumnya. Pertimbangan DPA dalam hal ini bersifat mengikat sebagai nasehat wajib, yaitu berisi persetujuan atau penolakan, sehingga kedudukannya kuat, dan bukan sekedar pertimbangan yang bersifat sukarela. Kedua, mengenai pengangkatan Duta Besar dan Konsul ataupun penerimaan Duta Besar dan Konsul negara asing seperti tersebut di atas. Dalam Perubahan Pertama UUD 1945, ketentuan mengenai hak prerogatif Presiden di bidang ini telah dibatasi dengan terlebih dulu diharuskan memintakan persetujuan DPR[32]. Ketentuan demikian ini dapat menimbulkan kesulitan karena kedudukan Duta Besar dan Konsul itu di zaman sekarang tidak lagi bersifat murni politis. Apalagi jika dikaitkan dengan gelombang tuntutan persaingan ekonomi dan perdagangan antar bangsa, peranan Duta Besar dan Konsul itu makin berkembang ke arah fungsi-fungsi yang bersifat teknis dalam rangka memajukan perekonomian suatu bangsa. Lagi pula, keperluan untuk memintakan dulu persetujuan dari DPR ini dapat menimbulkan kesulitan administratif untuk pengangkatan Duta Besar dan Konsul yang bisa timbul setiap waktu tanpa harus menunggu proses politik di tingkat DPR. Di samping itu, yang lebih prinsipil lagi ialah bahwa pengangkatan dan penerimaan Duta Besar dan Konsul diikat oleh Hukum Internasional yang di dalamnya antara lain tercakup prinsip-prinsip hubungan resiprokal dimana ditentukan setiap kebikan antar negara haruslah bertimbal balik. Jika penerimaan Dubes asing harus terlebih dulu disetujui oleh DPR, apakah prinsip yang sama juga diterapkan di negara mitra. Apakah keharusan persetujuan DPR itu tidak justru menimbulkan reaksi negatif dari pihak negara mitra. Oleh karena itu, sebaiknya, prinsip persetujuan itu diubah menjadi pertimbangan dan dialihkan dari DPR ke DPA saja. Jadi sebelum Presiden menetapkan menerima seorang Duta Besar atau Konsul asing, dan sebelum menetapkan mengangkat seseorang sebagai Duta Besar atau Konsul, maka Presiden diwajibkan memintakan dulu pertimbangan DPA.
Dengan demikian, DPA akan memiliki hak dan kewajiban konstitusional yang jelas, tidak sekedar dianggap sebagai ‘Badan Penasehat belaka’ seperti disebutkan dalam Penjelasan Pasal 16 UUD 1945. Nampaknya, dirumuskannya kata ‘belaka’ itu dalam penjelasan Pasal 16 UUD untuk menunjukkan bahwa tugas DPA itu ‘hanya sekedar’ memberi nasehat. Karena kata ‘belaka’ itu berarti ‘hanya’ yang juga sepadan dengan kata ‘sekedar’. Dengan menekankan perkataan ‘belaka’ itu, berarti nasehat DPA itu bersifat sukarela dan tidak mengikat. Presiden boleh mengikutinya dan boleh juga mengabaikannya sama sekali tanpa akibat hukum apa-apa. Jika nantinya, kewajiban-kewajiban DPA sudah dipertegas secara rinci, maka ia tidak lagi dapat disebut sebagai ‘penasehat belaka’. Sesuai usul-usul tersebut di atas, hak dan kewajiban DPA di masa depan dapat diimbangi pula dengan hak dan kewajiban Presiden dalam hubungannya dengan DPA, yang dapat dirinci sebagai berikut:
1. DPA berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan atau permintaan pertimbangan Presiden.
2. DPA berkewajiban memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai pengangkatan seseorang menjadi Duta Besar dan Konsul ataupun penerimaan Duta Besar dan Konsul Negara asing, dan Presiden berkewajiban memintakan pertimbangan DPA sebelum menetapkan pengangkatan atau penerimaan Duta Besar dan Konsul dimaksud.
3. DPA berkewajiban memberikan pertimbangan terhadap rencana Presiden memberikan amnesti atau abolisi terhadap seorang mantan Presiden yang telah dijatuhi sanksi pidana oleh hakim dengan kekuatan hukum yang tetap, dan sebelum mengambil keputusan mengenai hal itu, Presiden berkewajiban memintakan terlebih dulu pertimbangan dari DPA.
4. DPA berkewajiban memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai segala tindakan dan kebijakan Presiden yang oleh DPA dinilai dapat mengganggu keserasian hubungan antar lembaga-lembaga tinggi negara atau dinilai dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, dan Presiden berkewajiban untuk sungguh-sungguh memperhatikan saran dan pertimbangan DPA.
5. DPA berkewajiban menyampaikan secara terbuka setiap nasehat atau usul dan pertimbangan yang telah disampaikannya secara resmi kepada Presiden, berikut tanggapan Presiden mengenai isi nasehat, usul atau pertimbangan DPA tersebut, kecuali mengenai hal-hal yang atas kesepakatan bersama dengan Presiden wajib dirahasiakan.
6. DPA berhak mengajukan usul dan saran pertimbangan kepada Presiden mengenai kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Pemerintah dalam bidang-bidang pemerintahan dan pembangunan.
7. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya, DPA berhak mengundang Menteri atau pejabat setingkat Menteri atau meminta keterangan kepada Menteri atau pejabat setingkat Menteri mengenai segala sesuatu menyangkut kebijakan pemerintah dalam bidangnya.
Keempat kewajiban DPA seperti tersebut pada butir 1-4 di atas, dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) kewajiban DPA yang timbul karena dilaksanakannya hak Presiden untuk mengajukan pertanyaan atau permintaan pertimbangan kepada DPA, seperti pada butir 1; (b) kewajiban DPA yang timbul karena dilaksanakannya kewajiban Presiden untuk meminta pertimbangan kepada DPA seperti pada butir 2 dan 3; (c) kewajiban DPA yang murni timbul karena ditentukan oleh konstitusi sebagai kewajiban DPA seperti pada butir 4 dan 5. Sementara itu, pada hakikatnya, nasehat, usul, pertimbangan, dan saran yang diberikan oleh DPA itu dapat dibagi dua, yaitu (a) nasehat yang bersifat sukarela dan tidak mengikat seperti pada butir 1, dan (b) nasehat yang mengikat dengan diimbangi oleh kewajiban Presiden sebagai penerima nasehat atau pertimbangan untuk memperhatikan sungguh-sungguh isi nasehat yang disampaikan oleh DPA tersebut. Nasehat yang mengikat itu jika tidak dilaksanakan dapat mempunyai akibat hukum tertentu, yaitu bahwa (i) Presiden wajib memberitahukannya secara resmi kepada DPA mengenai alasan-alasan mengapa nasehat atau pertimbangan DPA itu tidak dapat dilaksanakan oleh Presiden, dan (ii) Presiden wajib melaporkan mengenai hal itu pada waktunya kepada MPR dalam rangka laporan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR dalam persidangan MPR yang diadakan kemudian. Nasehat yang bersifat mengikat itu, meskipun tidak bersifat ‘wajib’ dalam arti jika tidak dilaksanakan menyebabkan kesalahan, tetapi sifat mengikatnya itu dapat menimbulkan kewajiban kepada Presiden untuk menjelaskan alasan-alasannya kepada DPA mengapa Presiden tidak memenuhi nasehat atau tidak melaksanakan pertimbangan DPA tersebut[33] dan kemudian pada saatnya melaporkan hal itu kepada MPR. Oleh karena itu, sifat nasehat tersebut dapat juga disebut sebagai nasehat ‘wajib’ dalam pengertian menimbulkan kewajiban kepada Presiden, jika nasehat itu tidak dilaksanakan. Dengan pengaturan demikian, maka kualitas nasehat DPA itu akan meningkat maknanya dan akan berpengaruh terhadap upaya meningkatkan peran DPA di masa yang akan datang.
Sebagai perbandingan, ‘Raad van Nedelandsch Indie’ di masa Hindia Belanda dan ‘Raad van Staat’ di negeri Belanda ataupun ‘Counseil d’Etat’ di Perancis, juga ditentukan adanya hal-hal yang wajib dimintakan pertimbangan kepada lembaga penasehat ini. Di samping itu, tugas dan kewenangan lembaga penasehat ini juga ditentukan secara tegas. Pada ‘Raad van Indie’, Gubernur Jenderal Hindia Belanda diwajibkan meminta pertimbangan ‘Raad’ antara lain dalam menetapkan (I) instruksi dan peraturan kepegawaian (ambtelik administratief voorschriften), (ii) perjanjian dengan kerajaan atau penduduk Indonesia (lange politiek contracten atau korte verklaring), (iii) rancangan ‘ordonantie’ yang akan diajukan kepada ‘volksraad’, (iv) rancangan ‘ordonantie’ dari ‘volksraad’, (v) peraturan dan tindakan dalam keadaan darurat, dan (vi) pengangkatan pejabat pemerintahan tertentu, termasuk pengangkatan anggota ‘volksraad’ untuk anggota yang diangkat oleh Gubernur Jenderal. Di samping itu, seperti dikemukakan di atas, ‘Raad van Nedelandsch Indie” juga diberi tugas dan kewenangan yang mencakup: (a) memberikan nasehat atau pertimbangan-pertimbangan kepada Gubernur Jenderal mengenai hal-hal yang wajib dimintakan nasehatnya oleh Gubernur Jenderal, (b) memberikan nasehat mengenai hal-hal tertentu yang dianggap penting oleh Gubernur Jenderal, dan © memberikan persetujuan sebelum Gubernur Jenderal menetapkan kebijakan atau mengambil tindakan-tindakan tertentu, seperti (I) pelaksanaan hak istimewa Gubernur Jenderal (exorbitante rechten) dalam memberikan amnesti dan abolisi terhadap raja-raja pribumi, (ii) penyelesaian sengketa kewenangan antara kekuasaan peradilan dengan pemerintah atau antar berbagai kekuasaan peradilan[34], (iii) pernyataan berlakunya hukum Eropah bagi orang-orang bukan golongan Eropah[35], dan lain sebagainya.
Dari perbandingan ini, jelas sekali bahwa kedudukan ‘Raad van Indie’ itu demikian besar dan tidak dapat dibandingkan dengan DPA yang ditentukan hanya diwajibkan untuk menjawab jika ada pertanyaan dari Presiden. Kewenangan ‘Raad’ yang demikian besar itu sebenarnya dapat dimengerti karena baik ‘Raad van Indie’ maupun Gubernur Jenderal, sama-sama merupakan instrumen kekuasaan yang menjamin kepentingan Raja atau Ratu Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda. Kedudukan ‘Raad’ yang demikian besar justru diperlukan sebagai institusi pengontrol kekuasaan Gubernur Jenderal yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan Belanda di Indonesia. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan ‘Raad van Staat’ di negeri Belanda, ternyata bahwa fungsi lembaga penasehat itu juga cukup luas. Pemerintah juga diwajibkan untuk meminta pertimbangan dalam hal-hal yang menyangkut (I) usulan untuk membentuk undang-undang, (ii) rancangan peraturan pemerintah, dan (iii) usul ratifikasi perjanjian internasional oleh Staten Generaal. Selain itu ‘Raad van Staat’ juga diwajibkan untuk (a) melakukan penyelidikan dan memberikan pertimbangan atas sengketa administrasi, (b) memutuskan sengketa administrasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang seperti yang pernah diatur dalam ‘Wet Administratieve Rechtsspraak Overheids Beschikkingen’ (Wet ROB).
Mungkin, perumusan tugas dan kewajiban ‘Raad van Staat’ di negeri Belanda ini dipengaruhi oleh perumusan tugas dan kewenangan ‘Counseil d’Etat’ di Perancis yang pernah menjajah Belanda sampai tahun 1814. Seperti dikatakan oleh Bagir Manan, ‘Raad van Staat’ memang tidak terlepas dari pengaruh ‘Counseil d’Etat’ Perancis yang mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi penasehat bagi pemerintah, dan fungsi peradilan administrasi negara yang tertinggi[36]. ‘Counseil d’Etat’ itu menjadi semacam Mahkamah Agung untuk perkara-perkara yang diselesaikan oleh badan peradilan administrasi negara di Perancis. Jika dikaitkan dengan kebutuhan kita di Indonesia, terutama dengan kemungkinan banyaknya sengketa yang dapat terjadi sebagai akibat penataan kembali organisasi pemerintahan yang bersifat otonom di daerah-daerah, memang dapat dipertimbangkan bahwa di masa datang, diperlukan adanya lembaga peradilan administrasi negara yang kuat di bidang administrasi negara. Akan tetapi, kita menyangsikan apakah untuk itu kewenangan penyelesaian sengketa administrasi itu pada tingkat kasasi perlu dikaitkan dengan fungsi DPA. Sudah tentu berbagai kemungkinan sengketa administrasi negara sehubungan dengan penerapan kebijakan otonomi daerah tidak dapat diselesaikan hanya oleh Dewan Otonomi Daerah yang ada sekarang. Akan tetapi, karena kita telah memiliki lembaga Pengadilan Tata Usaha Negara yang juga berada di bawah pembinaan Mahkamah Agung, maka kemungkinannya adalah lembaga Pengadilan Tata Usaha Negara itu saja yang ditingkatkan kewenangan-nya untuk menyelesaikan berbagai sengketa administrasi negara itu dan puncaknya tetap dikaitkan dengan Mahkamah Agung. Namun, terlepas dari berbagai kemungkinan ini, yang jelas, tugas dan kewajiban serta kewenangan Dewan Pertimbangan Agung memang dapat ditingkatkan dengan mengambil inspirasi dari berbagai ketentuan mengenai tugas, kewajiban dan kewenangan ‘Raad van Indie’, ‘Raad van Staat’, dan ‘Counseil d’Etat’ tersebut di atas.
Oleh karena itu, dalam rangka agenda Perubahan UUD 1945 yang akan datang, ada baiknya untuk dipertimbangkan bahwa Pasal 16B rancangan Perubahan itu dirumuskan menjadi: “Dewan ini berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden, dan memberikan usul atau pertimbangan yang ditentukan berdasarkan undang-undang wajib dimintakan oleh Presiden kepada Dewan, serta pertimbangan-pertimbangan mengenai hal-hal lain yang penting bagi negara.” Di dalamnya tercakup 3 tugas pokok, yaitu menjawab pertanyaan Presiden, memberikan usul atau pertimbangan yang wajib dimintakan oleh Presiden kepada DPA, dan memberikan usul atau pertimbangan mengenai hal-hal lain yang penting bagi negara. Bersamaan dengan itu, rincian mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban DPA ini dapat pula diatur lebih lanjut dalam UU. Dengan demikian, peranan DPA di masa depan dapat dijamin akan lebih meningkat secara berarti. Di samping itu, pengertian kedudukan DPA sebagai Badan Penasehat Pemerintah, juga perlu diperimbangkan kembali. Jika nanti, MPR sebagai lembaga tertinggi negara ditiadakan, maka DPA dapat pula ditingkatkan kedudukannya dari badan yang memberikan nasehat kepada Presiden/Pemerintah menjadi badan penasehat yang memberikan pertimbangan dan nasehat baik kepada Presiden/Pemerintah maupun kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Oleh karena itu, reformasi kedudukan DPA ini juga sangat tergantung kepada perkembangan agenda reposisi dan restrukturisasi lembaga-lembaga negara Republik Indonesia dalam rangka perubahan UUD 1945 yang akan datang[37].
SUSUNAN DAN KEANGGOTAAN DPA
1. Keanggotaan DPA
Mengenai siapa yang seharusnya menjadi anggota DPA dan bagaimana pengangkatan dilakukan sangat menentukan kinerja DPA itu sendiri dalam kenyataan. Dalam Pasal 3 ayat (1) UU No.3/1967[38], dinyatakan bahwa: “Susunan anggota DPA meliputi unsur-unsur dari kehidupan masyarakat, dan terdiri dari: (a) tokoh-tokoh politik, (b) tokoh-tokoh karya, (c) tokoh-tokoh daerah, (d) tokoh-tokoh nasional.” Jumlahnya, seperti telah diubah berdasarkan UU No.4/1978[39], ditentukan sebanyak-banyaknya 45 orang, termasuk pimpinan DPA. Meskipun dalam penjelasan Pasal 3 UU No.3/1967 dinyatakan bahwa: “DPR bukan badan perwakilan kenegaraan seperti MPR dan DPR”, tetapi keragaman keanggotaan DPA seperti disebutkan dalam Pasal 3 itu agak mirip dengan MPR. Pertimbangannya adalah agar semua golongan dan aliran serta kelompok dapat terwakili dalam keanggotaan DPA. Dalam praktek pelaksanaannya selama ini, hal itu dapat dirasakan, sehingga setiap kali keanggotaan DPA akan dibentuk, diadakanlah penyaringan bakal calon dari sumber-sumber yang luas, sehingga tokoh-tokoh yang dimaksud dapat dicalonkan menjadi anggota DPA. Padahal DPA dikatakan bukanlah lembaga representasi politik.
Mengenai syarat-syarat keanggotaan DPA memang belum ada pengaturan yang rinci. Yang ada hanya persyaratan-persyaratan umum seperti yang ditentukan dalam Pasal 4 UU No.3/1967. Syarat-syarat itu ialah (a) warganegara RI, (b) bertaqwa kepada Tuhan YME, (c) cakap/ahli/berpengalaman, (d) berwibawa, jujur, adil dan dapat mencerminkan kehendak dan isi hati nurani rakyat, (e) tidak terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, dalam gerakan kontra revolusi, Gerakan 30 S/PKI dan atau organisasi terlarang lainnya, (f) menerima, menyetujui dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar Republik Indonesia, (g) menerima, menyetujui dan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara, (h) setia pada Nusa, Bangsa, dan Negara Republik Indonesia, (i) tunduk dan taat kepada segala UU dan peraturan-peraturan negara Republik Indonesia.
Dalam rangka perubahan UUD 1945, dalam rancangan materi yang sudah disepakati oleh Badan Pekerja MPR, hal ini juga dirumuskan secara sangat umum. Pasal 16 rancangan itu berbunyi: “DPA terdiri dari para anggota yang dipilih oleh DPR atas dasar integritas pribadi, wawasan kebangsaan, ketokohan dalam masyarakat, serta sejarah pengabdiannya kepada negara dan bangsa”.[40] Rumusannya masih sangat umum, dan tidak mengatur hal-hal baru yang dapat menyebabkan terjadi perubahan penting terhadap peranan DPA di masa datang. Oleh karena itu, persyaratan-persyaratan anggota DPA perlu dirumuskan kembali secara jelas dalam kaitannya dengan kedudukan dan fungsi DPA itu sendiri. Untuk itu, di masa mendatang dapat diusulkan agar keanggotaan DPA dapat dibagi menjadi dua ketegori. Pertama, anggota DPA yang diangkat karena pengalaman jabatannya; dan Kedua, anggota DPA yang diangkat karena pengalaman dan prestasi pengabdiannya kepada negara dan bangsa. Dalam kategori pertama, diusulkan agar semua mantan Presiden dan Wakil Presiden serta mantan Ketua lembaga tinggi negara, dapat secara otomatis diangkat menjadi anggota DPA. Karena dinamika perubahan politik yang sangat cepat dan adanya pembatasan terhadap masa jabatan Presiden yang diterapkan sekarang, maka di masa yang akan datang, bangsa kita sangat mungkin akan memiliki cukup banyak mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden yang masih sehat dan dapat berperan penting bagi kemajuan bangsa dan negara. Demikian pula dengan mantan Ketua MPR dan DPR, serta mantan Ketua BPK dan MA juga cukup banyak. Kecuali jika mereka itu sungguh-sungguh sudah berada dalam keadaan uzur ataupun karena yang bersangkutan tidak bersedia diangkat sebagai anggota DPA[41], maka setiap mantan Presiden, mantan Wakil Presiden, mantan Ketua MPR, mantan Ketua DPR, mantan Ketua BPK, dan mantan Ketua MA sangat baik untuk dimanfaatkan pengalamannya dan diangkat menjadi anggota DPA.
Sedangkan dalam kategori kedua, calon anggota DPA hendaknya dipilih dari mereka yang dianggap berprestasi dalam pengabdiannya kepada bangsa dan negara selama ini. Dengan syarat-syarat tambahan tertentu seperti usia, tidak pernah menerima hukuman dari pengadilan dengan vonis yang berkekuatan hukum yang tetap, tidak pernah terlibat dalam penghianatan kepada bangsa dan negara, dan lain sebagainya, calon anggota DPA ini dapat dipilih dari tokoh-tokoh yang pernah mendapat bidang jasa atau gelar kehormatan dari pemerintah. Misalnya, dapat ditentukan, mereka yang akan diangkat untuk kategori kedua tidak berasal dari tokoh pemerintahan, melainkan tokoh-tokoh masyarakat yang juga banyak yang sudah pernah mendapat penghargaan bintang jasa. Karena, tokoh-tokoh pemerintahan sudah diwakili oleh tokoh-tokoh dalam kategori pertama di atas, maka sangat berimbang jika untuk kategori kedua ini dipilihkan dari ketokohan seseorang dalam masyarakat. Akan tetapi, kriterianya jelas, yaitu hanya mereka yang sudah pernah mendapatkan bidang jasa dan penghargaan tertentu saja yang dapat dipilih menjadi anggota DPA. Dengan demikian, anggota DPA itu betul-betul terdiri atas tokoh-tokoh yang diangkat karena pengalaman dan prestasi serta pengabdiannya kepada bangsa dan negara yang memang telah diakui oleh negara. Dengan komposisi keanggotaan seperti itu, niscaya DPA akan berubah menjadi lembaga penasehat yang berwibawa dalam berhadapan dengan Presiden/Pemerintah.
2. Prosedur Pengangkatan dan Pemberhentian
Sebagaimana dikemukakan di atas, jika MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak ada lagi, maka DPA sebaiknya ditingkatkan menjadi badan yang tidak hanya memberi nasehat kepada pemerintah, tetapi juga kepada semua lembaga tinggi negara lainnya. Tetapi, dalam keadaan sekarang dimana MPR masih berfungsi sebagai lembaga tertinggi negara, DPA masih harus dipertahankan sebagai badan penasehat pemerintah. Sebagai penasehat pemerintah tentu hubungannya lebih dekat kepada Presiden daripada kepada lembaga tinggi negara lainnya. Kedudukan DPA ini dapat dibandingkan dengan BPK yang berfungsi melakukan pemeriksaan keuangan, yang dalam pelaksanaan tugasnya lebih dekat kepada DPR yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap Presiden/Pemerintah. Karena itu, prosedur pengangkatan anggota DPA sudah seharusnya berbeda dari prosedur pengangkatan anggota BPK. Karena kedudukannya, pencalonan anggota BPK sebaiknya diajukan oleh DPR untuk disahkan oleh Presiden, sedangkan anggota DPA sebaiknya tetap dicalonkan oleh Presiden untuk mendapat persetujuan DPR. Jumlah calon dapat ditentukan misalnya harus 2 kali lipat dari jumlah yang perlu ditetapkan menjadi anggota BPK ataupun DPA. Dengan demikian, terdapat hubungan ‘checks and balances’ antara Presiden dan DPR dalam memilih dan mengangkat anggota BPK dan DPA. Memang dapat pula dipertimbangkan apakah calon anggota DPA yang berasal dari kategori pertama, yaitu para mantan Presiden, mantan Wakil Presiden, mantan Ketua MPR, mantan Ketua DPR, mantan Ketua BPK dan mantan Ketua MA masih perlu disetujui DPR atau tidak. Untuk menghindarkan jangan sampai jumlah anggota DPA dari unsur pertama terlalu dominan jumlahnya, maka cukup ditentukan bahwa jumlah unsur kategori pertama tidak boleh melebihi jumlah unsur kategori kedua. Jika tetap ditentukan bahwa jumlah anggota DPA sebanyak 45 orang, maka jumlah tokoh masyarakat sekurang-kurangnya harus berjumlah 23 orang.
Masa jabatan anggota DPA dapat ditentukan untuk waktu 5 tahun, berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU No.3/1967, adalah 5 tahun dan anggota DPA berhenti bersama-sama. Tidak disebut apakah masa jabatan DPA itu dikaitkan dengan masa jabatan Presiden. Karena itu, memang tidak perlu dikaitkan dengan hal itu. Artinya, meskipun Presiden berganti di tengah jabatan, tidak lalu anggota DPA harus berhenti karena Presidennya berhenti. Pengangkatan dan pemberhentian anggota DPA, dalam Pasal 5 dan Pasal 7 UU tersebut hanya ditentukan dilakukan dengan Keputusan Presiden. Karena itu, Presidenlah yang paling menentukan pengangkatan dan pemberhentian anggota DPA. Karena itu, sejak era reformasi ini, terutama dengan telah diadakannya perubahan UUD 1945, pengangkatan dan pemberhentian anggota DPA haruslah melibatkan peran DPR. Karena itu, seperti tersebut di atas, pengangkatan anggota DPA harus dilakukan melalui pencalonan oleh Presiden dan disetujui oleh DPR. Di samping itu, juga diatur bahwa anggota DPA dapat diberhentikan dalam masa jabatannya apabila yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana ketika ia diangkat menjadi anggota DPA. Proses pemberhentian ini dapat dilakukan sama dengan proses pengangkatannya, yaitu diusulkan oleh Presiden untuk mendapat persetujuan DPR. Jika DPR menyetujui pemberhentiannya, maka Presiden menerbitkan Keputusan Presiden untuk memberhentikan yang bersangkutan dari keanggotaan DPA.
Mengenai pimpinan DPA, berdasarkan UU No.4/1978, Bab V Pasal 10 ayat (1), ditentukan terdiri atas seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua. Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat oleh Presiden atas usul Dewan Perimbangan Agung. Tetapi dalam praktek selama ini, Presidenlah yang menentukan atau sekurang-kurangnya mempengaruhi pengangkatan seorang menjadi Ketua DPA, sehingga praktis bahwa usulan DPA itu hanya bersifat proforma saja. Barulah di era reformasi sekarang, seorang Ketua DPA dipilih secara demokratis dari dan oleh para anggota DPA sendiri, yaitu ketika Dr. A.A. Baramuli dipilih menjadi Ketua DPA dari dan oleh para anggota DPA sendiri pada tahun 1999.
HAKIKAT PERSIDANGAN DPA
Masalah lain yang juga perlu dibahas adalah soal keterbukaan DPA, terutama mengenai keterbukaan sidang-sidang yang diadakan oleh DPA. Perlu tidakkah sidang-sidang yang diadakan oleh DPA dinyatakan terbuka untuk umum? Memang ada dilemma bagi DPA mengenai soal ini. Sebagai lembaga penasehat yang diharapkan memberikan nasihat, saran, dan pertimbangan mengenai sesuatu hal kepada Presiden, tentu tidak seenaknya dapat mengumumkan kepada publik mengenai isi nasehatnya kepada Presiden. Akan tetapi, jika semua nasehat dan pertimbangan itu diberikan secara tertutup, dan secara eksklusif hanya ditujukan kepada Presiden saja, masyarakat tidak mengetahui apa yang sudah dan apa yang belum dilakukan oleh DPA. Apalagi di zaman keterbukaan seperti sekarang ini, sangat tidak mungkin bagi lembaga DPA untuk menutup-nutupi isi nasehat yang diberikannya kepada Presiden.
Oleh karena itu, mungkin dapat diatur ketentuan mengenai kondisi sebelum dan sesudah nasehat atau pertimbangan itu diberikan kepada Presiden. Misalnya, sebelum nasehat atau pertimbangan diberikan kepada Presiden, baik pimpinan maupun anggota DPA tidak diperbolehkan mengemukakannya kepada publik. Akan tetapi, apabila nasehat atau pertimbangan itu sudah disampaikan secara resmi kepada Presiden dan Presiden telah mengetahui serta memahami isinya, maka isi pertimbangan tersebut justrru harus diwajibkan untuk diumumkan kepada publik. Bahkan DPA juga harus dimungkinkan untuk mengumumkan kepada publik respons atau tanggapan Presiden terhadap pertimbangan-pertimbangan atau saran dan nasehat DPA tersebut, kecuali mengenai hal-hal yang disepakati bersama-sama Presiden untuk tidak diumumkan secara terbuka. Oleh karena itu, seperti diusulkan di atas, kewajiban DPA dapat ditambahkan dengan kewajiban untuk mengumumkan segala usul, saran dan pertimbangan yang diberikan DPA kepada Presiden, termasuk mengenai tanggapan atau respons Presiden mengenai usul, saran dan pertimbangan DPA tersebut.
Zaman memang sudah berubah. Pada era keterbukaan dan transparansi dewasa ini, kita tidak mungkin lagi mempertahankan pengertian yang berbau feodalistis dengan mengaitkan fungsi nasehat sebagai unsur-unsur yang bersifat personal dan apalagi bersifat rahasia. Meskipun nasehat DPA menyangkut hal-hal yang mungkin tidak menguntungkan seorang Presiden, tetapi nasehat atau pertimbangan DPA itu menyangkut persoalan kenegaraan yang berhak diketahui oleh rakyat banyak sebagai pemegang kedaulatan rakyat dan sumber kekuasaan negara yang sesungguhnya. Namun, adanya prinsip keterbukaan ini, tidak mengharuskan dikembangkannya penafsiran bahwa semua kegiatan DPA harus dibuka untuk umum. Harus tetap diadakan pembedaan antara kegiatan rapat-rapat DPA yang bersifat internal dengan hakikat putusan-putusan DPA yang sudah seharusnya menjadi milik publik. Dengan demikian, rapat-rapat DPA tidak perlu dinyatakan sebagai rapat terbuka, hanya karena diterimanya prinsip keterbukaan dan transparansi.
Memang benar bahwa rapat-rapat DPA, seperti halnya Sidang-Sidang DPR dan MPR serta Sidang-Sidang Mahkamah Agung dapat juga dinyatakan terbuka untuk umum. Akan tetapi, menurut saya, hal itu tergantung keperluannya. Jika memang diperlukan untuk mengadakan sidang terbuka, tidak ada salahnya DPA menyatakan sidang-sidang tertentu untuk membahas hal-hal tertentu dinyatakan terbuka. Namun, perlu diingat bahwa DPA bukan lembaga representasi politik masyarakat. Fokus tugasnya adalah memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden mengenai berbagai masalah kenegaraan dan pemerintahan. Karena itu, tidak ada keperluan bagi rakyat banyak untuk menyaksikan perdebatan di antara para anggota DPA dalam membahas sesuatu atau dalam memutuskan sesuatu. Yang justru dibutuhkan oleh masyarakat adalah produk keputusan DPA itu sebagai hasil dari pelaksanaannya tugasnya sebagai lembaga tinggi negara. Karena itu, yang harus diumumkan adalah isi nasehat, usul atau pertimbangannya itu yang sudah merupakan hasil keputusan dan kesepakatan kolektif para anggota DPA secara kelembagaan. Akan tetapi, sesuai dengan etika dan adat ketimuran bangsa kita, nasehat atau saran dan pertimbangan kepada Presiden itu, seyogyanya tidak diumumkan dulu sebelum Presiden sendiri menerimanya dan mengetahui isinya. Setelah Presiden menerimanya dan mengetahui isinya, barulah nasehat, usul, saran, dan pertimbangan DPA itu diumumkan kepada publik oleh pimpinan DPA.
Sudah tentu, seperti dikemukakan di atas, kewajiban mengumumkan isi nasehat dan pertimbangan itu harus pula dibatasi. Bisa saja atas permintaan atau kesepakatan bersama dengan Presiden, terdapat hal-hal yang menurut Presiden tidak perlu diumumkan. Misalnya, jika suatu usulan atau pertimbangan DPA, setelah dikonsultasikan atau didiskusikan bersama Presiden, ternyata dinilai kurang lengkap dan masih memerlukan penyempurnaan, atau misalnya Presiden menganggap bahwa pengumuman mengenai hal itu dapat menimbulkan pertentangan dan membahayakan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, maka bisa saja disepakati agar hal tersebut tidak diumumkan secara terbuka. Tetapi, di luar pembatasan-pembatasan tersebut, semua jenis putusan DPA yang lainnya yang berisi nasehat dan pertimbangan yang diberikan kepada Presiden, wajib diumumkan oleh (pimpinan) DPA, termasuk mengenai tanggapan Presiden mengenai soal itu.
KESIMPULAN
Demikianlah beberapa pemikiran yang kiranya dapat dipertimbangkan dalam rangka penataan kembali lembaga Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia. Usul dan saran-saran dalam makalah ini berlaku, baik dalam rangka agenda perubahan UUD 1945, maupun dalam rangka pembaruan terhadap UU No.3 Tahun 1967 sebagaimana telah diubah dengan UU No.4 Tahun 1978 tentang Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia. Semoga hal ini dapat menjadi bahan masukan bagi para perancang dan perumus, baik naskah Perubahan UUD 1945 maupun naskah UU baru tentang Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia.
Pada akhirnya, keinginan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan DPA ini, tergantung kepada kemauan politik Presiden bersama-sama semua pimpinan dan anggota partai-partai politik yang sekarang ini menjabat kedudukan di lembaga DPR dan MPR untuk menentukannya. Berubah tidaknya kinerja DPA di masa depan, tidak saja tergantung kepada pimpinan dan para anggota DPA itu sendiri, melainkan tergantung kepada bagaimana UUD 1945 diubah dan bagaimana UU baru tentang DPA dirumuskan. Yang jelas, hampir dapat dipastikan bahwa jika ketentuan mengenai DPA dalam UUD tidak diubah, perubahan yang ideal terhadap UU No.3/1967 dan UU No.4/1978 tidak akan banyak artinya. Penataan kembali lembaga DPA di masa depan, tidak hanya membutuhkan TAP MPR dan UU baru, tetapi juga perubahan ketentuan dalam UUD kita. Meskipun TAP No.VIII/MPR/2000 telah mengamanatkan perlunya diadakan pembaruan terhadap UU tentang Dewan Pertimbangan Agung, tetapi hal itu belum cukup untuk dijadikan dasar dalam upaya melakukan penataan kembali keberadaan lembaga DPA yang berperan penting di masa yang akan datang. Karena itu, mungkin baik juga untuk dipertimbangkan bahwa penyelesaian perancangan UU tentang DPA yang baru sekaligus dikaitkan dengan agenda perubahan UUD 1945 yang akan datang.
SARAN RUMUSAN
Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka agenda Perubahan UUD 1945 yang akan datang, dapat diusulkan rumusan perubahan terhadap Pasal 16 lama. Pasal 16 lama terdiri atas 2 ayat yang berbunyi: “(1) Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan undang-undang. (2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada Pemerintah.” Sesuai uraian di atas, ketentuan Pasal 16 itu diusulkan diubah menjadi terdiri atas 3 ayat sebagai berikut:
Pasal 16 baru:
(1) Dewan Pertimbangan Agung terdiri atas para anggota yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat atas dasar integritas pribadi, wawasan kebangsaan, pengalaman pengabdian kepada negara, dan ketokohan dalam masyarakat serta jasa-jasanya bagi bangsa dan negara menurut syarat-syarat yang ditentukan dengan undang-undang.
(2) Pencalonan anggota Dewan Pertimbangan Agung diajukan oleh Presiden sebanyak dua kali jumlah anggota yang akan dipilih dan penetapannya sebagai anggota Dewan dikukuhkan dengan Keputusan Presiden.
(3) Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden, menyampaikan pertimbangan mengenai hal-hal yang wajib dimintakan pertimbangannya oleh Presiden, dan mengajukan usul atau saran kepada Presiden mengenai hal-hal yang sangat penting bagi negara.
(4) Ketentuan mengenai susunan, tatacara pencalonan, pemilihan, penetapan, serta hak dan kewajiban anggota Dewan Pertimbangan Agung serta hal-hal lain diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Berkenaan dengan perumusan UU tentang Dewan Pertimbangan Agung yang akan datang dapat diusulkan ketentuan-ketentuan mengenai (i) susunan keanggotaan Dewan yang terdiri atas tokoh-tokoh mantan Ketua Lembaga Tinggi Negara dan tokoh-tokoh masyarakat yang memenuhi persyaratan yang terperinci, (ii) Mekanisme pencalonan, pemilihan dan penetapan anggota DPA, yaitu dicalonkan oleh Presiden sebanyak 2 kali jumlah dibutuhkan, dipilih oleh DPR, dan dikukuhkan penetapannya dengan Keputusan Presiden, (iii) rincian tugas dan fungsi serta hak dan kewajiban DPA sebagai lembaga tinggi negara, termasuk (iv) ketentuan mengenai hal-hal yang wajib dimintakan pertimbangannya oleh Presiden kepada DPA.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Alder, John, Constitutional and Administrative Law, Macmillan, London, 1989.
Apeldoorn, L.J.van, Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta: Pradnya Paramita, 1990.
Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Jakarta: UI-Press, 1996.
-------, “Reformasi dan Reposisi Lembaga-Lembaga Tinggi Negara”, Jakarta, 2000.
Attamimi, A. Hamid S., Dewan Pertimbangan Agung dalam Sistem Pemerintahan Negara RI., dalam Padmo Wahjono, et.al., Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.
Blondel, Jean, Comparative Government: An Introduction, London: Philip Allan, 1990.
Indische Staatsregeling (IS).
Manan, Bagir, “Masa Depan Dewan pertimbangan Agung (DPA) Republik Indonesia”, makalah yang disampaikan dalam pertemuan DPA dengan pakar hukum tata negara di Jakarta, Kamis, 21 September 2000.
Pot, Van der and Donner, Handboek van het Nederlanddse Staatsrecht, 1977.
Republik Indonesia, Putusan-Putusan Sidang Tahunan MPR-RI Sidang Tahunan MPR-RI 7-18 Agustus, 2000, Sekretariat Jenderal MPR-RI., Jakarta, 2000.
-------, Risalah BPUPKI dan PPKI, Jakarta: Sekretariat Negara, 1995.
-------, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1945 No.4.
-------, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 No.6.
-------, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1978 No.3.
-------, Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sidang Tahunan MPR-RI 7-18 Agustus, 2000, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 2000.
Rossiter, Clinton, Constitutional Dictatorship: Crisis Government in the Modern Democracies, New York: A Harbinger Book, 1948
Yamin, Mohamad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Prapantja, Jakarta, 1959.
Yusuf, Slamet Effendy dan Basalim, Umar, Reformasi Konstitusi Indonesia: Perubahan Pertama UUD 1945, Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2000.
[1] Dikembangkan dari makalah yang disampaikan dalam pertemjuan DPA dengan para pakar Hukum Tata Negara di DPA, Jakarta, Kamis, 21 September 2000 dalam rangka agenda perubahan UUD 1945 dan pembaruan UU No. 3/1967 sebagaimana telah diubah dengan UU No.4/1978 tentang Dewan Pertimbangan Agung.
[2] Guru Besar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
[3] Seperti dikatakan oleh John Alder, monarki ketika itu memang memiliki banyak fungsi sekaligus “In particular, the Queen is (i) part of Parliament; (ii) Head of State of several Commonwealth countries; (iii) Head of the Church; (iv) Head of Judiciary; (v) Head of Parliament; (vi) Head if the Commonwelth”, lihat Constitutional and Administrative Law, Macmillan, London, 1989, hal.172.
[4] “The 1688 revolution left the monarch in charge of running the executive bu t dependent upon Parliament for money and law making power. Since then the personal powers of the monarch have gradually declined”. Ibid., hal. 176.
[5] A. Hamid S. Attamimi, Dewan Pertimbangan Agung dalam Sistem Pemerintahan Negara RI., dalam Padmo Wahjono, et.al., Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 258.
[6] Adanya dua lembaga parlemen ini merupakan hasil kompromi antara para bangsawan tuan tanah dengan rakyat biasa yang menuntut kontrol yang efektif terhadap kekuasaan pemerintahan yang sebelumnya cenderung feodalistik dan otoritarian.
[7] Van der Pot and Donner, Handboek van het Nederlanddse Staatsrecht, 1977, hal. 284, A. Hamid S. Attamimi, Op.Cit., hal. 259.
[8] Pasal 138 ayat (2) dan Pasal 139 Indische Staatsregeling (IS).
[9] Nama resminya adalah ‘Raad van Nedelandsch Indie’, tetapi sering disebut ‘Raad van Indie’ saja.
[10]Lihat pidato Muhammad Yamin dalam Sidang BPUPKI tanggal 11 Juli, 1945 dalam Republik Indonesia, Risalah BPUPKI dan PPKI, terbitan Sekneg, Jakarta, 1992, hal 23 dan 172.
[11] Prof. Dr. Bagir Manan, SH. MCL., “Masa Depan Dewan pertimbangan Agung (DPA) Republik Indonesia”, makalah yang disampaikan dalam pertemuan DPA dengan pakar hukum tata negara di Jakarta, Kamis, 21 September 2000.
[12] Pernyataan-pernyataan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini mengenai soal pembubaran DPA banyak dimuat diberbagai media massa di tanah air, terutama pada saat-saat menjelang diadakannya Sidang Umum MPR 1999 dan menjelang Sidang Tahunan MPR Tahun 2000. Pendapat-pendapatnya nampaknya banyak diikuti juga oleh para anggota Badan Pekerja MPR yang mempersiapkan rancangan naskah Perubahan UUD 1945.
[13] Republik Indonesia, Putusan-Putusan Sidang Tahunan MPR-RI Sidang Tahunan MPR-RI 7-18 Agustus, 2000, Sekretariat Jenderal MPR-RI., Jakarta, 2000.
[14] Lihat Materi Rancangan Perubahan UUD 1945 sebagai lampiran TAP No.IX/MPR/2000, Ibid., hal.118-119.
[15] Soepomo, misalnya, mengatakan bahwa DPA itu dalam bahasa asingnya barangkali dapat disebut ‘Raad van Staat’, lihat Mohamad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Prapantja, Jakarta, 1959, hal.309. Bahkan dalam Penjelasan Pasal 16 UUD 1945 yang dirumuskan oleh Soepomo dinyatakan bahwa ‘Dewan ini ialah sebuah ‘Council of State’ yang berkewajiban memberi pertimbangan-pertimbangan kepada Pemerintah. Ia sebuah Badan Penasehat belaka”.
[16] Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1945 No.4.
[17] Berdasarkan Ketetapan MPR No.VIII/MPR/2000, semua bentuk lembaga penasehat yang bersifat ekstra-konstitusional ini direkomendasikan agar dibubarkan oleh Presiden. Hal ini menunjukkan bahwa MPR menghendaki agar semua fungsi lembaga penasehat.dikaitkan kepada fungsi DPA yang sudah ada dan dijamin dalam UUD 1945. Jika nantinya keberadaan lembaga DPA sudah makin diperjelas kedudukan dan fungsinya, sebenarnya, lembaga-lembaga penasehat yang bersifat internal di lingkungan pemerintah ini bisa saja dibentuk, jika Presiden memang membutuhkannya untuk membantu Presiden melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, sepanjang hal itu tidak mengganggu keberadaan DPA. Akan tetapi, karena keberadaan DPA sendiri belum jelas, maka MPR berpendapat bahwa lembaga-lembaga penasehat semacam itu perlu ditiadakan. Dengan demikian, dapatlah ditafsirkan bahwa MPR tidak berkehendak membubarkan DPA, melainkan justru berusaha meningkatkan fungsinya.
[18] Lihat Pasal 3 UUD 1945.
[19] Pasal 3 UUD 1945 juncto Penjelasan UUD 1945.
[20] Pasal 37 UUD 1945.
[21] Sebagai konsekwensi kewenangan MPR menetapkan haluan negara berdasarkan Pasal 3 UUD 1945.
[22] Pasal 6 UUD 1945.
[23] Penjelasan UUD 1945.
[24] Hal ini perlu dipertimbangkan karena secara kultural para anggota DPA yang berisikan tokoh-tokoh yang berpengalaman dapat dianggap paling memahami berbagai aspek mengenai peranan mantan Presiden ketika masih menduduki jabatannya. Karena itu, pertimbangan persetujuan atau penolakan terhadap pemberian amnesti atau abolisi oleh Presiden sebaiknya dilakukan oleh DPA, bukan oleh MA semata-mata. Tentu saja kewenangan DPA untuk memberikan pertimbangan setuju atau tidak setuju ini, dibatasi hanya terhadap kasus mantan Presiden saja. Sedangkan dalam kasus lain, kewenangan untuk itu tetap berada di tangan MA.
[25] Ketentuan pemberian kewenangan melakukan ‘legislative review’ kepada Badan Pekerja ini secara sekilas memang nampak mempunyai dasar argumentasi, karena MPR-lah yang dianggap paling mengetahui isi konstitusi. Akan tetapi, gagasan ini sebenarnya dapat dianggap berlebihan, dan bahkan salah kaprah dalam memahami kewenangan MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang seakan-akan dianggap sebagai lembaga yang paling berkuasa dalam sistem ketatanegaraan kita. Dalam hukum dikenal adanya ‘self binding principle’ yaitu bahwa setiap lembaga pembuat hukum wajib tunduk kepada hukum yang ditetapkannya sendiri. Otomatis dengan begitu, MPR harus tunduk kepada UUD, yang di dalam sistematika berpikirnya tidak mungkin menyerahkan kewenangan yang bersifat mandiri kepada lembaga yang bersifat ad-hoc seperti Badan Pekerja.
[26] Pengertian pelanggaran haluan negara ini seringkali disalahpahami orang seakan-akan berarti pelanggaran terhadap naskah GBHN. Pengertian demikian jelas keliru, karena GBHN bukanlah dokumen hukum yang dapat dilanggar. Naskah GBHN yang dikenal dewasa ini sebenarnya adalah produk masa Orde Baru, dan sebelumnya tidak dikenal ada naskah GBHN. Karena itu, harus dimengerti bahwa yang dimaksud oleh Penjelasan UUD 1945 mengenai ‘haluan negara’ itu ialah haluan penyelenggaraan negara yang tercantum ketentuan-ketentuannya dalam UUD dan/atau yang tercantum dalam ketetapan MPR lainnya.
[27] Prinsip seperti ini juga dikaitkan dengan fungsi ‘Raad van Nedelandsch Indie’ di zaman Hindia Belanda, yang apabila berbeda pendapat dengan Gubernur Jenderal, maka Ratu atau Raja di negeri Belandalah yang harus memutuskannya, apakah akan membenarkan pertimbangan Raad atau kebijakan Gubernur Jenderal.
[28] LN-RI 1967 No.6.
[29] LN-RI 1978 No.3.
[30] Republik Indonesia, Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Sidang Tahunan MPR-RI 7-18 Agustus, 2000, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 2000.
[31] Lihat Pasal 14 UUD 1945 sebagaimana telah diubah dalam Perubahan Pertama UUD 1945.
[32] Bandingkan rumusan ketentuan UUD 1945, Pasal 13 yang lama dengan Pasal 13 yang baru.
[33] Ketentuan seperti ini juga terdapat dalam Pasal 23 Indische Staatsregeling (IS) jika misalnya terjadi perbedaan pendapat antara ‘Raad van Nederlandsch Indie’ dengan ‘Gubernur Generaal’ di Hindia Belanda tempo dulu. Dengan adanya ketentuan Pasal 23 IS ini berarti memang dapat terjadi perbedaan antara usul nasehat, atau pertimbangan dewan penasehat (Raad) dengan kebijakan yang ditempuh atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.
[34] Pasal 138 ayat (2) dan Pasal 139 Indische Staatsregeling (IS).
[35] Pasal 163 ayat (5) IS.
[36] Bagir Manan, loc.cit.
[37] Dua hal penting yang dapat menyebabkan perubahan dalam kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara adalah adanya gagasan untuk menyelenggarakan pemilihan Presiden secara langsung, dan berkembangnya gagasan untuk membentuk Dewan Perwakilan Daerah di samping lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang sudah ada. Lihat Jimly Asshiddiqie, Reformasi dan Reposisi Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, Jakarta, 2000.
[38] LN-RI 1967 No. 6.
[39] LN-RI 1978 No. 3.
[40] Lihat lampiran TAP MPR No.IX/MPR/2000, dalam Republik Indonesia, Putusan MPR-RI, Sidang Tahunan MPR-RI, 7-18 Agustus 2000, Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 2000, hal. 119.
[41] Misalnya, yang bersangkutan tidak bersedia diangkat karena alasan sedang menjabat sesuatu jabatan yang oleh undang-undang ditentukan tidak boleh dirangkap oleh jabatan anggota DPA.