Rabu, 25 Agustus 2010

EVALUASI KEBIJAKAN DALAM PENANGGULANGAN DAMPAK BENCANA LUMPUR LAPINDO SEBAGAI PERANAN PEMERINTAH DAERAH DAN PUSAT

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar belakang

                  Penaggulangan dampak bencana Lumpur Lapindo adalah salah satu bagian dari dampak bencana Nasional, sebagai evaluasi kebijakan perancang bersama melalui program pembangunan pemerintah daerah setempat bersama pemerintah pusat serta kerja sama ( defakto ), untuk penaggulangan dampak kebanjiran Lumpur panas komoditas terbentuk telaga Lumpur itu. Diarahkan untuk terciptanya tujuan dan cita-cita luhur bangsa Indonesia mewujudkan suatu masyarakat adil, merata dan makmur baik materiil dan spiritual mencapai kemakmurannya, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
                  Evaluasi kebijakan daerah dan nasional tentang penanggulangan pertanggung jawaban terhadap dampak bencana alam dan dampak bencana social lainnya telah termuat dalam UU No. 32 Thn 2004 di khususkan pada pasal 185-1919, tentang evaluasi kebijakan pertanggungjawaban secara standar nasional dan UU No. 33 Thn 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan pemerintah daerah,dan berdasarkan peraturan pemerintah daerah No.3 Thn 2005. Dalam UU itu telah termuat sebagai landasan hukum untuk penanggulangan dampak bencana Lumpur lapindo serta dampak bencana lainnya secara efisien efektifitas sesuai objektifitas yang ada.
                  Maka  yang dimaksud dengan evaluasi dalam pasal ini adalah bertujuan untuk tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional untuk tanggung jawab bersama penanggulangan dampak yang sedang melanda di tengah masyarakat Indonesia di daerah sidoarjo. Telah ditekankan bahwa pemerintah Indonesia perlu ambil langkah melalui keserasian antara kepentingan public dan kepentingan aparatur, serta untuk meneliti sejauh mana APBD propinsi bertentangan dengan kepentingan umum peraturan yang lebih tinggi dengan perda lain secara devaktonya menuju pemberantasan dampak sosial sedang melanda ini.
                  Evaluasi terhadap kebijakan Dana Alokasi Umum(DAU) dilakukan dalam waktu yang relative pendek dengan didasarkan pada argumentasi yang bersifat subyektif dari sebagian pemerintah Pemerintah Daerah. Idealnya evalusi terhadap kebijakan dilaksanakan dalam kurun waktu antara 3 sampai 5 tahun, sehingga memberikan waktu pada proses implementasi untuk melakukan interpretasi terhadap tujuan kebijakan secara tepat. Tujuan utama dalam evaluasi yaitu :
1.      Evaluasi yang bersifat politis ( Political evaluation )
2.      Evaluasi yang bersifat organisasi ( Organization evaluation )
3.      Evaluasi yang bersifat nyata ( Substantive evaluation )
                   Demikian berdasarkan penjelasan tersebut diatas ini sebagai jalur jalan bagi yang sedang mengurus secara evaluasi untuk mengambil kebijakan penanggulangan Lumpur panas itu. Dan untuk pemerintah daerah setempat kejadian dampak bencana tersebut harus secepatnya ambil langkah untuk mengantisipasi semua beban-beban dan keluhan masyarakat dapat secepat diatasi perorangan.
                   Namun permasalahan ini bagian dari masalah nasional yang diatasi dan yang ditangani oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasar prinsip demokrasi, transparansi akuntabilitas, good governance, efisiensi dan efektifitas. Mencapai masyarakat yang adil dan makmur, dan setia pada aktifitas-aktifitas daerah setempat mereka, serta setia pada Pancasila dan UU, maka harus diterapkan prinsip good governance.


B.Rumusan Masalah

Rumusan masalah ini berdasarkan latar belakang tersebut diatas,     “ Sejauh mana pemerintah daerah dan pemerintah pusat serta pihak kasus PT Lapindo Brantas, evaluasi terhadap penanganan terhadap kebijakan dampak bencana Lumpur panas lapindo di Sidoharjo.
C. Kerangka Pikiran

1.      Evaluasi kebijakan.
Menurut W. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program.
2.      Evaluasi semu.
Evaluasi semu adalah pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kebijakan, tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil tersebut terhadap individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan.
3.      Evaluasi formal.
Evaluasi formal merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai  hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan kebijakan dan administrator program.
4.      Evaluasi keputusan teoritis
Evaluasi keputusan teoritis adalah pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggung jawabkan dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam perilaku kebijakan.

BAB II
EVALUASI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TERHADAP LUMPUR LAPINDO


Berdasakan latar belakang tersebut diatas, sebagaimana telah dijelaskan bahwa evaluasi dan implementasi kebijakan dalam penanganan dampak bencana Lumpur lapindo itu sebagai salah satu bagian dari masalah nasional. Sesuai dengan UU No.33 Tahun 2004 perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, telah ditetapkan oleh pemerintah pusat memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatasi masalah ADS pendampakannya maupun untuk pembangunan lainnya.
            Namun pemerintah daerah Sidoharjo perlu segera dituntaskan sesuai aturan yang telah ditentukan melalui anggaran tahunan, maupun dari dana bantuan dari luar kabupaten lainnya. Dalam hal ini, perlu diasumsikan sesuai dengan kerugian dari dampak bencana yang terjadi setempat. Karena itu menyangkut meningkatkan taraf hidup masyarakat dan sebagai salah satu bagian pembangunan masyarakat integaral dari pemerintah. Maka penanggulangan masalah ini berdasarkan finansial berupa barang dan jasa.
            Desakan anggota DPR agar kasus semburan lumpur panas Sidoharjo dinyatakan sebagai bencana nasional, dinilai tidak penting. Hal yang terpenting saat ini adalah upaya yang cepat untuk menangani korban bencana dan mengurangi dampaknya.
            Tentang desakan agar kasus itu tetap sebagai bencana nasional, penetapan malah memberikan dampak buruk bagi masyarakat Indonesia, terutama dikaitkan dengan ketersediaan anggaran bencana. Kata direktur eksekutif nasional wahana lingkungan hidup Indonesia Chalid Muhammad.
            Anggaran bencana hanya Rp 600 miliar, sedangkan untuk kompensasi rumah warga saja butuh Rp 1,4 triliun. Bagaimana pemerintah mau menangani bencana lain kalau defisit ? Katanya.
            Untuk itu,dia mendesak pemerintah dan DPR memanggil perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan eksplorasi gas porong, yakni PT Lapindo, Medco, Santos dan Bakrie, untuk meminta pertanggung jawaban. Mereka pun harus menyediakan dana dalam jumlah tertentu untuk menangani kasus itu dan pengelolaannya dilakukan secara transparan.
            Sementara itu, Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Achmad Hafiz Zawawi mendesak pemerintah untuk segera turun tangan mengatasi dampak luapan lumpur agar tidak meluas.Salah satu yang dapat dilakukan pemerintah adalah menggunakan dana APBN untuk membantu para korban dan meminimalisasi dampaknya. Dia menjelaskan, anggaran di pos bencana yang ada APBN perubahan (APBN-P) 2006 masih tersisa sekitar Rp 300 miliar hingga Rp 350 miliar dari total anggaran Rp 3,2 triliun.
            Sejauh ini Panitia Anggaran belum menerima surat dari Menteri Keuangan terkait penggunaan anggaran APBN untuk menanggulangi dampak dan membantu korban lumpur panas Lapindo.Menurut dia,mekanisme penggunaan anggaran bencana tersebut dapat dilakukan setelah ada permintaan dari bupati setempat, kemudian Menko Kesra meminta ke Menkeu, dan Menkeu mengirim surat ke DPR.
            Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, dalam APBN-P 2006 maupun APBN 2007,tidak ada alokasi anggaran secara khusus untuk menangani dampak dan korban semburan lumpur Lapindo. Menkeu mengungangkapkan,anggaran untuk penanganan bencana sudah dicadangkan, baik APBN-P 2006 maupun APBN 2007.
            Secara terpisah, Sekertaris Menko Kesra Sutedjo Yuwono menjelaskan,penggunaan dana bencana di APBN untuk menanggulangi masalah lumpur panas Lapindo menunggu keputusan presiden yang kemungkinan akan dibuat dalam 1-2 hari mendatang.

Tiga tahap penanggulangan dampak bencana lumpur Lapindo di Sidoharjo, Jawa Timur =
            Lumpur Lapindo adalah bencana yang merugikan berbagai aktifitas dan fasilitas sosial setempat. Dari media analisis beberapa macam dampak yaitu dampak lingkungan, dampak sosial dan ekonomi.Penangan penanggulangan dampak bencana lumpur panas lapindo adalah langkah yang lebih sentifis secara bertahap.

1.  Tahap Tanggap Darurat ( Emergency Responce )

Tahap tanggap darurat adalah masa pelayanan bantuan kemanusiaan langsung kepada para korban sejak hari pertama sejak terjadinya bencana.Lama tahap ini terutama bergantung pada besarnya dampak kerusakan yang diakibatkan oleh bencana tersebut.
Tujuan dan sasaran
Tujuan dan sasaran utama tahap ini adalah membantu memenuhi kebutuhan pokok hidup sehari-hari para korban agar tidak semakin menderita dan mampu bertahan hidup sampai keadaan pulih kembali. Karena itu, kegiatan utama pada tahap ini adalah penyaluran bantuan kemanusiaan dalam bentuk penyediaan pangan dan sandang, tempat penampungan sementara, pelayanan kesehatan,
Strategi
Tetapi, Tim Relawan Kemanusiaan (TKR) Jaringan PT Lapindo Brantas sekaligus juga akan memanfaatkan masa pelayanan bantuan kemanusiaan ini sebagai ‘titik awal’ (entry-point) ke arah proses-proses pemulihan dan penataan jangka panjang pada tahap berikutnya nanti.
Kegiatan
Untuk itu,sambil melakukan kegiatan-kegiatan pelayanan bantuan kemanusiaan mereka, setiap anggota TRK-PT Lapindo Brantas juga harus melakukan penagamatan untuk menemukan orang-orang setempat (terutama para korban bencana itu sendiri ) yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai tenaga-tenaga penggerak utama dalam proses pemuliham dan penataan selepas masa darurat ini. Pada saat ini bersamaan, para anggota TRK-PT Lapindo Brantas juga melakukan pendataan (baseline) untuk memilih desa-desa tertentu ( dari puluhan desa yang dilayani pada masa tanggap-darurat ini) yang nantinya akan ditetapkan sebagai lokasi utama program pemulihan dan penataan jangka panjang.



2.  Tahap Peralihan.

Tahap ini merupakan masa singkat beranjak keluar (phasing out) dari tahap tanggap darurat ke tahap berikutnya, yakni tahap pemulihan dan penataan kembali. Denagn kata lain, tahap ini pada dasarnya adalah masa persiapan sosial untuk memulai kembali kehidupan wajar (normal) mereka seperti sediakala atau ke taraf yang lebih baik lagi dalam jangka panjang di masa mendatang.
Tujuan dan sasaran
Karena itu, tujuan dan sasaran utama tahap ini adalah terbentuknya Badan Pemulihan dan Penataan Desa (BPPD) pada beberapa desa terkena bencana sebagai tim inti yang akan menggerakkan warga masyarakat lainnya melakukan proses-proses pemulihan dan penataan kembali semua prasarana kehidupan dan kelembagaan sosial-ekonomi desa mereka.
Strategi
Sesuai tujuan dan sasarannya, maka strategi dasar yang akan ditempuh pada saat ini adalah menembuhkan kembali kesadaran harga diri dan martabat mereka sebagai manusia (setelah trauma bencana) serta semangat kesetiakawanan dan kegotong-royongan tradisional mereka sebagai suatu perkauman (community).
Kegiatan
Kegiatan pokok pada tahap ini antara lain :
a.       Pembersihan desa/kampung yang cara-cara pelaksanaanya akan dimusyawarahkan dan disepakati bersama dengan para korban warga setempat.
b.      Pelatihan dasar unutk beberapa warga terpilih sebagai pengorganisir lokal (local organizer) dalam rangka menyiapkan pembentukan Badan Pemulihan dan Penataan Desa (BPPD)
c.       Pelatihan-pelatihan teknis, terutama unutk pembangunan kembali rumah-rumah penduduk, penataan lingkungan hidup setempat, dan pembangunan basis-basis penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood)
d.      Pemetaan partisipatif dan tematis terhadap beberapa desa yang telah dipilih sebagai lokasi utama kerja-kerja pemulihan dan penataan kembali pada tahap berikutnya.


3.   Tahap Pemulihan dan Penataan Kembali ( Reconstruction and Rehabilitation )

Tahap ini merupakan tahap inti yang sesungguhnya dari seluruh proses penanganan bencana dan pelayanan korban yang diakibatkannya. Berdasarkan pengalaman pemerintah atau badan tim penanggulangan selama ini, tahap ini justru yang paling sering dilupakan, atau dianggap sebagai tanggung jawab utama pemerintah saja. Akibatnya, banyak proses proses pemulihan dan penataan kembali di banyak daerah bencana selama ini, khususnya di Indonesia, berlangsung dalam kerangka pendekatan yang serba terpusat, mengabaikan asaz partisipasi masyarakat dan otonomi kelembagaan sosial lokal. Karena itu, harus pemerintah memutuskan untuk menjadikan tahap ini sebagai prioritas utama mereka di kawasan bencana di Sidoharjo di Jawa Timur.
Tujuan dan sasaran.
Karena itu, tujuan dan sasaran utama tahap ini adalah menciptakan suatu ‘model’ pemulihan dan penataan’ kembali berbasis masyarakat (community-based reconstruction and rehabilitation).
Strategi.
Mengingat kompleksitas permasalahan yang akan dihadapi, pemerintah bersama tim penanggulangan dari mana perlu di evaluasikan secara terencana untuk memberantaskan masalah dampak Lumpur yang belum selesai tersebut. Dalam hal ini perlu diteliti desa dan masyarakat setempat yang terkenen bencana tersebut. Maka pemerintah melihat dimana desa-desa tersebut berdasarkan beberapa totok ukur utama, yakni desa-desa yang memang menderita dampak serius dari bencana gempa bumi, masih tergolong desa miskin (paling tidak dibanding dengan desa-desa lainnya disekitarnya ), namun memiliki modal sosial yang potensial untuk lebih diberdayakan ke arah otonomi dan kemandirian. Dalam hal ini, kami berharap bahwa BPPD yang telah terbentuk akan segera berfungsi optimal sebagai pelaksana utama seluruh kegiatan pada tahap ini.
Kegiatan.
Secara garis besar, kegiatan-kegiatan utama pada tahap ini,antara lain mencakup :
a.       Pembangunan kembali perumahan dan lingkungan pemukiman penduduk berbasis kebutuhan dan kemampuan mereka sendiri (community-based housing), dengan penekanan pada aspek sistem sanitasi lingkungan organik daur ulang.
b.      Penantaan kembali prasarana utama desa, khususnya yang berkaitn dengan sistem produksi pertanian.
c.       Pembangunan basis-basis perekonomian desa dengan pendekatan penghidupan berkelanjutan,terutama pada kedaulatan dan keamanan pangan (food security dan sovereignty) dan ketersediaan energi yang dapat diperbaharui ( renewable energy), serta perintisan model sistem kesehatan desa yang terjangkau dan efektif.

Sistem Pendukung, Pemantauan dan Evaluasi.
Dalam pelaksanaan keseluruhan tahapan tersebut, organisasi-organisasi atau tim-tim telah dibentuk akan dikerahkan untuk mobilisasi sumber daya (dalam dan luar negeri) untuk membantu para korban, yakni masyarakat setempat, untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran pada setiap tahap. Namun, dukungan-dukungan PT. Lapindo Brantas atau tim-tim lain tersebut paling utama dalam hal ini adalah sebagai sistem pendukung penyediaan keahlian, informasi, dan bantuan teknis yang mereka butuhkan. Jaringan PT. Lapindo Brantas terutama akan mengerahkan kemampuan terbaiknya selama ini dalam bidang pendidikan dan pelatihan warga, pengorganisasian masyarakat, dan pengmbangan jaringan akses dan kongsi sumber daya. Dewan pengurus PT. Lapindo Brantas atau tim lainnya akan melakukan pemantauan dan evaluasi itu sebagai bahan pembelajaran bersama dengan masyarakat dan organisasi-organisasi lain, selain sebagai bahan advokasi kebijakan terhadap pemerintah daerah setempat.


BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Penanggulangan dampak bencana Lumpur Panas Lapindo adalah salah satu bagian dari pembangunan nasional, baik membangun dan menata disisi sumber daya manusia dan sumber daya alam. Melalui evaluasi bersama dalam kebijakan pemberantasan untuk menangani dampak bencana tersebut secara defakto pemerintah daerah dengan pemerintah pusat mencapai adil dan makmur serta merata sebagai Negara Indonesia ysng maju dan benar-benar berkembang berdasarka UUD 1945.
Evaluasi kebijakan dampak bencana telah dicetuskan dalam UU No.33 Tahun 2004, tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah untuk memberdayakan rakyat Indonesia dimana ada dampak bencana, dapat mengimplementasikan sesuai dengan terkene dampak bencana ditempat.
Dapat dilanjutkan dan ditangani sebaik mungkin oleh pemerintah daerah atas  UUD No.32 Tahun 2004,tentang pemerintah daerah sebagai landasan hukum yang perlu terjun di lapangan terkena bencana,sesuai jalur peraturan pemerintah yang telah ditetapkan UU No.3 Tahun 2005 itu. Karena dampak bencana tersebut ini sudah sampai satu tahun lebih dan masyarakat setempat juga kehilangan semua serba-serbi tempat kehidupan ahkirnya masyarakat setempat tempat penjualan pasar jalan dijadikan rumah dan aktifitas kerja mereka.
Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia segera turun tangan secara tuntas secepat mungkin tanpa bertele-tele ditengah jalanan atau dalam pemprosesan administrasi akan tetapi harus dilangsungkan di lapangan yang telah terjadi bencana tersebut itu, supaya masyarakat bisa lebih aman kondusif sesuai apa yang ditetapkan pemerintah di negeri ini.


B. Saran
Penulis dapat disinggung keberadaan negara dalam hal evaluasi kebijakan yang paling menantang ini. Negara Indonesia adalah negara yang dampak awal bencana sosial dan konflik sangat tinggi dan besar, dari awal kemerdekaan negara ini. Karena keberadaan Negara Indonesia ini memang berada di jalur tropis dan juga berbagai aneka suku budaya serat berbagai aneka sumber daya alan dan geografisnya berkepulauan.
Selama beberapa decade di negara ini ada banyak terjadi dampak bencana dari buatan manusia maupn dari buatan alam sangat dasyat. Akan tetapi kebijakan implementasinya, untuk menangani permasalahan segala bencana. Hanya saja pemerintah diatas namakan rakyat setempat yang terkena dampak bencana, ahkirnya semua permasalahan yang ada di negeri ini belum tuntas diatasi dengan baik. Karena pemerintah sendiri belum bersatu dan pahami benar-benar telah disahkan menjadi sebuah negara karena adanya rakyatnya.
Begitupun, masalah penanggulangan dampak bencana Lumpur Panas Lapindo sampai sekarang juga belum dipulihkan sampai satu tahun lebih berlanjut ini. Pemerintah daerah maupun dari pemerintah pusat melalui organisasi-organisasi tim yang telah dibentuk untuk di alokasikan pemberantasan penanggulangan dampak bencana tesebut belum bersatu keepakatan secara optimal karena adanya isu kekasusan pembuangan limbah.
Penulis dapat disarankan berdasarkan tersebut diatas bahwa pemerintah daerah dan pemerintah pusat segera ambil langkah secara defakto untuk memberantaskan dampak bencana yang terjadi di dalam tubuh Negara Indonesia pada khususnya Kabupaten Sidoharjo itu. Dan juga kesankan juga bahwa pemerintah jangan segan-segan dalam penanganan dampak bencana untuk menyelamatkan rakyat miskin, maka dari itu pemerintah jangan pilih memilih daerahisme,tapi pemerintah harus tekuni menjunjung mengadilkan dan merata rakyat secara efisien dan efektifitas di objek tempat terkena bencana itu. 

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Dunn, WN. 1994. Policy Analysis : An Inteoduction. Ed ke-2. Prentice-Hall, Inc. A Simon & Schuster Company, Englewood Cliffs, New Jersey 07632. Terjemahan dari : Gadjah Mada University Press. Yogyakarta 55281, Indonesia.

H. Soekarwo, SH, M. Hum. Berbagai permasalahan keuangan daerah. Cetakan pertama.-2003.-Penerbitan : Airlangga University Press Surabaya. 

Tidak ada komentar: