Selasa, 24 Agustus 2010

PRIVATISAS BUMN TINJAUAN KASUS DI SEKTOR LISTRIK

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Dalam konteks implementasi kebijakan privatisasi di Indonesia, pasca krisis ekonomi, tulisan ini mencoba menyajikan analisa kebijakan privatisasi BUMN, peranan lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara kreditor, analisa mengenai program privatisasi pelayanan publik di Indonesia, dengan mengambil contoh kasus di sektorkelistrikan alternatif dari privatisasi.

B.     PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan diatas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah yang timbul, antara lain :
1.      Bagaimanakah perkembangan dan peran BUMN di Indonesia ?
2.      Bagaimana berubahan paradikma bank dunia ?
3.      Bagaimana bentuk program privatisasi BUMN ?
4.      Restrukturisasi untuk siapa ?
5.      Janji-janji restrukturisasi dan privatisasi ?
6.      Apa sajakah yang menjadi masalah BUMN ?

C.    DASAR PIJAKAN YURIDIS
Dasar pijakan yuridis penulisan ini adalah UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN.


BAB II
ANALISIS

A.    PERKEMBANGAN DAN PERAN BUMN DI INDONESIA
Perkembangan
Pertama, BUMN generasi pertama (1945-1957) adalah hasil nasionalisasi dari sejumlah perusahaan yang sebelumnya dimiliki oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda, antara lain PLN yang merupakan gabungan sejumlah perusahaan listrik lokal, Jawatan Kereta Api, Jawatan Pos dan Telepon yang menjadi cikal bakal Perum Pos dan PT Telkom, dan lain-lain. Pada perjalanannya, pemerintah juga membentuk sejumlah BUMN, dan pemerintah daerah membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) baru seiring dengan dinamika proses politik yang terjadi Indonesia
Kedua, BUMN dibuat untuk menjadi pioneer dalam sektor-sektor yang tidak menarik bagi swasta, misalnya sektor listrik, air dan telekomunikasi. Pada awal berdirinya negara Indonesia, infrastruktur pada sejumlah sektor ini sangat miskin. Untuk membangunnya dibutuhkan peranan aktif negara dalam hal kebijakan, regulasi dan modal. Dengan tingkat modal yang tinggi tetapi tingkat pengembalian yang rendah pada awalnya, sektor-sektor ini sangat tidak menarik bagi swasta.
Ketiga, sejumlah BUMN (dan BUMD) dirancang untuk menjalankan misi sosial dan juga misi komersial.
Peranan BUMN
Dari sudut pandang ekonomi. peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat tidak hanya bergantung pelaku-pelaku ekonomi swasta dan mekanisme pasar, tetapi juga perlu peranan negara yang berfungsi mengurangi dampak kegagalan pasar, kekakuan harga dan dampak eksternalitas yang timbul dari persaingan-persaingan lembaga ekonomi (Henin, 1989; Kuntjoro-Jakti, 1991). Peranan negara dinyatakan dalam bentuk keterlibatan negara pada usaha-usaha ekonomi lewat Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Paradigma ekonomi laissez-faires memberikan pembenaran atas intervensi negara, yaitu saat mekanisme pasar tidak bekerja dengan baik.
Dengan demikian fungsi BUMN dapat digolongkan sebagai salah satu instrumen penyeimbang untuk mengatur bekerjanya mekanisme pasar secara berkeadilan(Baswir, 2002).Keberadaan BUMN umumnya tidak terhindarkan pada fase awal pembangunan ekonomi sebuah negara ketika kapasitas entrepreneur swasta untuk menggerakkan ekonomi masih terbatas. BUMN juga sering digunakan sebagai instrumen bagi negara untuk menguasai sektor-sektor yang dianggap strategis, seperti bahan pangan, kebutuhan pokok, dan sumber daya alam (Perdana, 2002) serta menyediakan pelayanan-pelayanan bagi publik, misalnya listrik dan air minum. Selain itu, pendirian BUMN dimaksudkan untuk mengelola kekayaan dan memupuk modal nasional sehingga keberadaannya secara normatif dapat menunjang ekonomi Negara,
Fungsi dan peran BUMN menjadi lebih jelas setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan, lewat UU No 9 tahun 1969, mengenai klasifikasi BUMN.

B.     PERUBAHAN PARADIGMA BANK DUNIA
Studi dan laporan Bank Dunia pada awal 80-an menyatakan kekecewaan atas buruknya kinerja sektor publik di negara-negara Afrika dan negara-negara berkembang di Amerika Latin. Upaya-upaya Bank Dunia mereformasi sektor publik di negara berkembang, sehingga dapat memiliki kinerja yang lebih baik, pada akhirnya meningkat menjadi rasa frustrasi. Sebagai terobosan untuk situasi ini Bank Dunia melihat pilihan privatisasi sebagai satu-satunya jalan keluar. Privatisasi mendapatkan momentumnya pada akhir tahun 80-an saat Margaret Thatcher melakukan reformasi sektor publik dengan melakukan privatisasi besar-besaran berbagai badan usaha milik negara di Inggris, dari telekomunikasi, transportasi,energi dan air. Privatisasi selanjutnya menjadi obat atas seluruh kesalahan ekonomi di negara-negara maju dan berkembang dan menjadi terapi standar bagi krisis sektor publik yang menimpa seluruh negara berkembang. Bank Dunia (bersama dengan IMF) menjadikan alasan rendahnya efisiensi dan buruknya kinerja perusahaan-perusahaan milik negara untuk melakukan perubahan kebijakan institusinya.
Pada dekade 70-an hingga pertengahan 80-an, kebijakan pinjaman Bank Dunia diarahkan untuk mendukung monopoli negara lewat berbagai BUMN yang menguasai berbagai sektor. Menurut Bank Dunia, kepemilikan dan monopoli negara menjamin tersedianya pelayanan-pelayanan dasar bagi publik dengan harga yang terjangkau. Peran negara pun menguat karena negara adalah pemilik BUMN sekaligus menjalankan fungsi pengaturan, pengawasan serta pembuat kebijakan. Privatisasi model ini terbilang aneh dan menunjukkan bahwa kebijakan dan pengelolaan ekonomi semasa rejim Orde Baru tidak didasarkan pada teori dan praktek ekonomi yang lazim berlaku. Tetapi lebih berdasarkan pada kepentingan jangka pendek untuk mempertahankan struktur kekuasaan politik lewat pengelolaan ekonomi secara primitif.
Perubahan kebijakan Bank Dunia mulai terjadi pada akhir 80-an hingga awal 90-an. Bank Dunia menyatakan bahwa kinerja sektor publik dan krisis keuangan yang semakin buruk disebabkan oleh struktur pasar monopoli dan kepemilikan negara atas utilitas dan perusahaan yang melayani sektor publik. Sementara itu, sejumlah negara di Afrika dan Amerika Latin pada periode yang sama mengalami berbagai masalah krisis keuangan, yang salah satunya disebabkan oleh kewajiban pembayaran beban utang luar negeri yang luar biasa besarnya kepada negara-negara kreditor, termasuk Bank Dunia sendiri. Hasilnya Bank Dunia kemudian menyarankan negara-negara berkembang melakukan reformasi kebijakan struktural yaitu dengan menerapkan kebijakan deregulasi, liberalisasi dan privatisasi untuk mengatasi situasi yang ada. Lebih jauh lagi, Bank Dunia dan IMF, diikuti oleh negara dan lembaga-lembaga donor internasional menjadikan reformasi struktural sebagai syarat (conditionality) untuk mendapatkan asistensi, bantuan serta pinjaman dari lembaga-lembaga tersebut. Menyangkut privatisasi dan partisipasi swasta, pada tahun 2001 Bank Dunia mendiskusikan Strategi Pengembangan Sektor Swasta (Private Sector Development Strategy), yang kemudian diadopsi menjadi kebijakan resmi Bank Dunia pada Februari 2002. PSD Strategy merupakan suatu langkah evolusioner dari Bank Dunia mengenai privatisasi. Dalam kebijakannya yang baru, Bank Dunia mengusulkan perluasan keterlibatan sektor swasta secara lebih jauh dalam pengambilalihan penyediaan pelayanan-pelayanan dasar, yang dulu dilakukan oleh negara lewat berbagai BUMN dan pembangunan infrastruktur di negara-negara berkembang.
Pada akhir 90-an, lembaga-lembaga keuangan multilateral, termasuk Bank Dunia dan IMF serta negara-negara kreditor menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai tujuan dari program bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang. Country Assistance Strategy (CAS) 2001-2003 Bank Dunia untuk Indonesia menyebutkan bahwa tujuan keseluruhan (overarching goal) dari program Bank Dunia adalah pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut Grup Bank Dunia akan memfokuskan pada tiga area yang menjadi prioritas utama, antara lain: sustaining economic recovery and promoting -based growth; building national institutions for accountable government; dan delivering better public service for the poor.

C.    PROGRAM PRIVATISASI BUMN
Pada awal 1992 terjadi ‘deregulation fatigue’ yang membuat privatisasi BUMN tidak berjalan sama sekali (Mallarangeng, 2002). Krisis ekonomi menjadi momentum berharga bagi Bank Dunia dan IMF untuk memaksa pemerintah Indonesia melakukan reformasi struktural sebagai ganti paket bail-out sebesar US$ 46 miliar dolar pada tahun 1997. Reformasi tersebut antara lain reformasi system perbankan, restrukturisasi korporasi, reformasi pendanaan sektor publik, termasuk penghapusan subsidi, desentralisasi politik dan keuangan, reformasi sistem perpajakan, perluasan peran swasta dan privatisasi BUMN.
Pada tahun 1999, Bank Dunia  memberikan pinjaman yang mendukung pembuatan master plan privatisasi BUMN dan dukungan untuk restrukuturisasi serta privatisasi 12 BUMN terbesar. Kebijakan privatisasi merupakan salah satu upaya untuk pemulihan ekonomi pasca krisis. Privatisasi BUMN merupakan hal yang utama untuk menyediakan landasan bagi investasi, memperbaiki kompetisi dan pertumbuhan jangka panjang. Privatisasi juga bertujuan untuk mencapai target pengentasan kemiskinan. Policy Reform Support Program Loan, senilai US$ 500 juta disetujui pada Mei 1999. Program privatisasi BUMN merupakan bagian dari kebijakan reformasi struktural yang diajukan oleh pemerintah Indonesia kepada IMF, Bank Dunia dan lembaga-lembaga kreditor lainnya. Program privatisasi BUMN pasca krisis ekonomi dimulai pada tahun 1999, dengan target pencapaian pengembalian sebesar Rp. 8,6 triliun yang medapatkan momentumnya kembali pada tahun 2000 pasca Pemilihan Umum. Pada tahun tersebut program privatisasi ditargetkan untuk mendapatkan hasil sebesar Rp. 5,9 triliun, dengan memberi prioritas pada BUMN - BUMN yang telah masuk dalam pasar kompetisi. Pemerintah juga mempersiapkan rencana likuidasi berbagai BUMN yang mengalami kerugian dan penghutang berat serta tidak memiliki prospek untuk mencapai kelayakan komersial (IMF, 2000). LoI tertanggal 27 Agustus merekonfirmasikan sejumlah program utama privatisasi termasuk proses monitoring rencana privatisasi tersebut. Untuk melaksanakan program privatisasi BUMN, pemerintah membentuk Tim Kebijakan Privatisasi BUMN, yang dikukuhkan dengan Keputusan Presiden No. 122 Tahun 2001 yang kemudian diamandemen dengan Keputusan Presiden No, 7 Tahun 2002. Keppres No. 122 menyatakan bahwa privatisasi BUMN diselenggarakan dalam rangka: (a) meningkatkan kinerja BUMN; (b) memperbesar partisipasi masyarakat; (c)meningkatkan efisiensi dalam perekonomian dan; (d) mengembangkan pasar modal dalam negeri dan membantu sumber penerimaan negara. Program privatisasi BUMN meliputi sejumlah hal, antara lain: menerapkan standard dan praktek corporate governance pada 88 BUMN yang belum akan diprivatisasi pada kurun 3 tahun (sejak 2002); komersialisasi Public Service Obligations (PSO); restrukturisasi keuangan dan operasi pada 30 BUMN yang dapat diperbaiki dan didivestasi dengan cepat; privatisasi 15 BUMN yang mana akses pada modal ekuitas dan atau perbaikan manajerial dapat memperbaiki keuntungan; penjualan saham minoritas pada 12 perusahaan; likuidasi 8 BUMN; penerapan program penghematan (pengurangan) tenaga kerja pada seluruh BUMN; dan audit penawaran (procurement) dan praktek penawaran pada 40 BUMN yang dipilih secara acak.Salah satu hal yang mendasar dari program ini adalah bahwa privatisasi meliputi seluruh BUMN termasuk yang selama ini bertugas menyediakan pelayanan kepada publik dalam bentuk PSO. Privatisasi PSO bertolak dari pandangan Bank Dunia dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya bahwa selama ini PSO dikelola dengan manajemen yang buruk sehingga BUMN yang bertanggung jawab gagal memberikan pelayanan publik yang layak serta fasilitas atau infrastruktur yang ada gagal mencapai sasaran yang sudah ditetapkan. Subsidi silang antar pengelolaan yang untung dan tidak telah menyebabkan inefisiensi dan gagal menyediakan tugas penyediaan pelayanan dengan kualitas yang baik.
Privatisasi PSO juga merupakan bagian dari upaya pengembangan partisipasi swasta dalam menyediakan pelayanan-pelayanan dasar bagi publik menggantikan tugas negara. Direncanakan pengelolaan sejumlah fasilitas publik, seperti diserahkan kepada swasta lewat mekanisme tender yang kompetitif. Walaupun sejauh ini, PSO masih ditujukan pada pengelolaan sejumlah infrastruktur publik,sangat besar kemungkinannya bahwa privatisasi PSO di masa depan akan ditujukan bagi pelayanan publik dasar, seperti air, listrik, kesehatan dan pendidikan. Dalam laporan terbaru Bank Dunia (2003), menyebutkan 8 model bagaimana pelayanan publik dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat. Untuk pemerintah, Bank Dunia menyarankan bahwa pelayanan publik sebaiknya dilakukan lewat mekanisme kontrak (contracting) kepada swasta sebagai cara mudah untuk melakukan pengawasan (monitoring)
Permasalahan BUMN dan Solusi Privatisasi
Ada sejumlah masalah yang dialami perusahaan milik negara secara umum, antara lain: ketidakmampuan untuk menyediakan pelayanan yang memuaskan bagi masyarakat, kinerja yang rendah, ketidakmampuan memberikan hasil yang optimal dan laba yang dapat mendukung penerimaan negara sehingga subsidi negara diambil dari anggaran publik untuk menutup kerugian, serta rendahnya profesionalitas manajemen serta karyawan BUMN.
Menurut Baswir (2002), persoalan BUMN dapat dikategorikan menjadi dua: internal dan eksternal. Persoalan internal yang berhubungan dengan kinerja perusahaan dan persoalan eksternal berhubungan dengan pola relasi manajemen BUMN dan institusi negara yang memilikinya. Sebab-sebab utama yang mendasar (underlying causes) dari persoalan BUMN adalah munculnya kapitalisme kroni (crony capitalism), korupsi dan kolusi pada tingkat elite,dominannya peran pejabat negara dalam pengelolaan BUMN serta rantai birokrasi yang panjang. Kehancuran tersebut juga didukung oleh tidak jelasnya peran dan model penilaian prestasi BUMN, khususnya yang menghasilkan barang publik (public goods).

D.    RESTRUKTURISASI UNTUK SIAPA?
Apakah restrukturisasi dan privatisasi dapat menyelesaikan masalah di sector ketenagalistrikan di Indonesia? Kebijakan restrukturisasi yang diusung oleh Bank Dunia dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya berasal dari diagnosa yang keliru mengenai akar krisis yang terjadi pada sektor ketenagalistrikan di Indonesia dan seluruh dunia, bahwa krisis yang terjadi di sector ketenagalistrikan berakar dari struktur monopoli dan kepemilikan pemerintah atas utilitas listrik. Diagnosa ini kemudian menjadi ‘dogma’ yang melatarbelakangi kajian Bank Dunia untuk situasi dan kondisi sector ketenagalistrikan.
Oleh karena itu upaya restrukturisasi ditujukan untuk menghilangkan monopoli kemudian memperkenalkan kompetisi dan mengalihkan kepemilikan publik atas perusahaan listrik negara kepada tangan-tangan swasta. Harapannya, dengan melakukan restrukturisasi maka terjadi perbaikan kinerja teknis,manajemen dan keuangan pada sektor ketenagalistrikan, meningkatnya investasi swasta dan penambahan kapasitas dan kualitas pasokan listrik.
Kenyataannya dogma ini kemudian dipakai seragam ke seluruh negara-negara berkembang termasuk Indonesia, mengabaikan kondisi, situasi, latar belakang ekonomi dan tingkat kematangan sebuah industri ketenagalistrikan. Krisis di sektor ketenagalistrikan di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: krisis pasokan dan krisis keuangan dan pembiayaan. Keduanya memiliki faktor ketergantungan satu dengan yang lain. Perlu dicatat bahwa kedua masalah ini muncul sebagai imbas dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Krisis pasokan terjadi karena sejak terjadinya krisis ekonomi, PLN tidak mampu membangun pembangkit listrik baru.
Sebelum krisis terjadi, PLN merupakan perusahaan yang cukup sehat dan mampu melayani pertumbuhan listrik dengan baik dan perusahannya menunjukkan kinerja finansial yang relatif baik, walaupun tidak dikatakan istimewa (Kinerja keuangan PLN yang tidak maksimal sebelum krisis ekonomi lebih disebabkan oleh adanya praktek korupsi dan kapitalisme kroni yang berlangung selama masa orde baru. Akar krisis di sektor ketenagalistrikan juga tidak sepenuhnya disebabkan oleh faktor-faktor internal perusahaan dan negara, tetapi juga faktor-faktor eksternal non-manajerial dan atau sebagai imbas dari rekomendasi kebijakan Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia, salah satunya mengenai kebijakan listrik swasta.
Pada awal 1990-an, Bank Dunia merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk melibatkan swasta pada sisi pembangkit tenaga listrik. Rekomendasi ini mendorong keluarnya Keputusan Presiden No. 37 tahun 1992 mengenai Usaha Penyediaan Listrik oleh Swasta. Keppres ini menjadi dukungan bagi munculnya model Independent Power Producer (IPP) atau listrik swasta. Sejumlah IPP yang berasal dari luar negeri kemudian berbondong-bondong bermitra dengan keluarga dekat Soeharto, presiden Indonesia saat itu. Kehadiran listrik swasta justru menimbulkan beban finansial bagi PLN. Akibatnya PLN tidak dapat mengalokasikan dananya untuk membangun pembangkit listrik baru atau menambah jaringan. Kehadiran listrik swasta juga menyebabkan tingkat return yang diraih PLN berpotensi lebih rendah dari keadaan sebelum krisis ekonomi 1997. Kinerja keuangan yang buruk juga disebabkan oleh meningkatnya biaya bahan bakar. Keadaan ini menyebabkan biaya produksi listrik rata-rata mengalami peningkatan sehingga memotong tingkat keuntungan yang diharapkan PLN dari tarif dasar listrik yang telah mengalami kenaikan setelah krisis ekonomi. Dengan demikian, untuk mengatasi krisis yang terjadi di sektor ketenagalistrikan lewat program restrukturisasi dan privatisasi adalah berlebihan. Krisis yang terjadi tidak melulu disebabkan oleh masalah kepemilikan dan monopoli negara atas PLN dan sektor ketenagalistrikan. Sebagian besar krisis di sektor listrik terjadi karena faktor-faktor eksternal yang saling kait mengkait, antara lain: kebijakan nasional di sektor energi, kebijakan listrik swasta, dan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Investasi di sektor ketenagalistrikan tidak hanya ditentukan oleh restrukturisasi dan privatisasi tetapi oleh keyakinan investor atas keseluruhan iklim investasi di Indonesia.

E.     JANJI-JANJI RESTRUKTURISASI DAN PRIVATISASI: PENGALAMAN INTERNASIONAL
Restrukturisasi sektor listrik di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998, belum menunjukkan dampak yang serius. Janji-janji dan harapan restrukturisasi dan privatisasi sangat besar.Restrukturisasi dan privatisasi dipercaya oleh para pendukungnya dapat membuat pengelolaan sektor lebih efisien sehingga harga listrik lebih murah, masuknya investor swasta dan dapat mencapai tujuan pengurangan kemiskinan. Secara umum, dampak dari program restrukturisasi dan privatisasi adalah negatif. Beberapa contoh mengenai kegagalan kebijakan restrukturisasi (deregulasi, liberalisasi dan privatisasi), khususnya di negara-negara yang lebih maju, semakin menunjukkan bahwa kebijakan ini bukanlah semata-mata hanya berjalan pada kerangka teoritis yang dibangun dan desain mekanisme yang rumit. Deregulasi mengalami penundaan di California (US) dan Ontario (Canada); sejumlah kegagalan ditemukan di Alberta (Canada) dan Brazil; dan kegagalan sedang berlangsung pada Swedia dan Norwegia. Di Swedia, tarif listrik lebih mahal dua kali lipat dibandingkan sebelum deregulasi terjadi (Banks, 2003). Kenyataan ini telah mendorong sejumlah negara seperti Norwegia untuk melakukan reregulasi terhadap sektor ketenagalistrikannya.Brazil yang telah melakukan program restrukturisasi sejak 1993, mengalami pemadaman yang cukup parah pada tahun 2001, selama kurang lebih tiga bulan. El Salvador yang melakukan privatisasi perusahaan distribusi listrik pada tahun 1998, mengalami pengalaman pahit yaitu tarif listrik naik tinggi tetapi pelayanan sangat buruk. Sepanjang tahun 2000-2002, terdapat 44.000 kali pemutusan aliran listrik dan publik membuat setengah juta complain kepada perusahaan distribusi listrik. Di Afrika Selatan, terjadi ribuan pemutusan sambungan listrik dan rendahnya tingkat konsumsi listrik karena tarif yang mahal, sesudah perusahaan listrik milik pemerintah ESKOM diprivatisasi tahun 1994 (Social Watch Report, 2003). Survei yang dilakukan Bank Dunia membuktikan bahwa investor tidak datang dengan sendirinya walaupun restrukturisasi telah dilakukan. Argentina yang telah melakukan restrukturisasi tidak menarik bagi investor, demikian juga dengan Columbia, India dan Pakistan. (Lamech and Saeed, 2003).
Survei Bank Dunia terhadap investor internasional di sektor ketenagalistrikan menemukan sejumlah prioritas bagi investor yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menarik investasi di sektor ketenagalistrikan, antara lain cash flow yang cukup di sektor listrik, stabilitas dan penegakan hukum atas kontrak, respon pemerintah terhadap kebutuhan dan kerangka waktu para investor; dan mengurangi intervensi pemerintah terhadap investasi yang ditanam investor (Lamech and Saeed, 2003). Dengan demikian sepanjang pemerintah dapat memberikan sinyal harga dan tingkat tarif listrk yang menguntungkan investor ditambah dengan adanya jaminan hukum dan pengaturan yang adil, maka investasi akan mengalir.

BAB III
PENUTUP DAN REKOMENDASI

Privatisasi seringkali dirancang berdasarkan rencana dan target yang tidak realistis, bahkan sering menggunakan asumsi yang berlebihan. Parahnya, solusi privatisasi berdasarkan diagnosa yang keliru, bahwa monopoli dan kepemilikan publik atas sejumlah utilitas atau perusahaan menjadi sebab terjadinya inefisiensi dan rendahnya kinerja institusi-institusi tersebut. Privatisasi BUMN yang terjadi di Indonesia juga tidak lepas dari asumsi yang sama. Pengalaman privatisasi yang sudah terjadi menunjukkan bahwa privatisasi bukanlah obat mujarab untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di sektor public walaupun ada juga keberhasilan
REKOMENDASI
Rekomendasi saya terhadap masalah privatisasi terdiri atas 2 bagian. Pertama adalah rekomendasi yang umum atas isu privatisasi,adalah sebagai berikut: Reformasi pada tubuh BUMN dibutuhkan untuk membenahi kondisi BUMN yang compang-camping. Privatisasi bukanlah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan permasalahan di tubuh BUMN. Dalam kondisi bahwa privatisasi merupakan hasil tekanan dari kreditor internasional, privatisasi akan semakin jauh dari tujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan dan lain-lain. Alternatif dari privatisasi perlu dipersiapkan.
Alternatif dari privatisasi adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip korporatisasi dan komersialisasi BUMN, menerapkan prinsip-prinsip corporate governance tetapi tetap mempertahankan kepemilikan sepenuhnya di tangan pemerintah. Menata ulang fungsi dan melakukan pengurangan jumlah BUMN berdasarkan asas kepentingan dan manfaat. Pemerintah memfokuskan diri pada pengelolalan BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak, sesuai pasal 33 UUD 1945 (yang sudah diamandemen) dan pada bidang-bidang usaha yang menunjukkan nilai tambah dan berdampak luas pada ekonomi nasional. Pengkategorian ini perlu dilakukan secara hati-hati, transparan dan menyediakan ruang debat bagi publik. Menyusun ulang UU mengenai BUMN dengan proses yang transparan dan membuat UU mengenai Privatisasi serta menyiapkan kebijakan pengamanan (safe guard policy) untuk kebijakan privatisasi untuk meredam dampak sosial, ekonomi dan politik.
Kedua adalah rekomendasi mengenai privatisasi di sektor listrik: Pemerintah Indonesia perlu mengkaji ulang kebijakan restrukturisasi di sektor ketenagalistrikan dengan perpindahan asset-asset PT PLN dari tangan publik ke tangan swasta. Pengkajian ulang ini melibatkan unsure-unsur publik secara luas dan kreditor utama, termasuk Bank Dunia, ADB dan JBIC. Krisis yang terjadi di sektor listrik dapat diselesaikan tanpa melakukan perubahankepemilikan dari tangan pemerintah ke tangan swasta/melakukan privatisasi. Pengelolaan PLN ditujukan untuk menjalankan prinsip-prinsip korporatisasi dan komersialisasi (bukan privatisasi) dan penerapan good corporate governance.

DAFTAR PUSTAKA

Baswir, Revrisond (2002). Privatisasi BUMN: Menggugat Model Ekonomi Neoliberal IMF. Dapat didownload dari website: www.ekonomirakyat.org.

Bayliss, Kate (2002). Privatisation and Poverty: The Distributional Impact of Utility Privatisation. PSIRU,London. Dapat didownload dari website: www.psiru.org.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2003). Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan Industri Ketenagalistrikan Nasional 2003-2020. DJLPE. Jakarta. Dapat di download di www.djlpe.go.id.  

Tidak ada komentar: