Selasa, 24 Agustus 2010

ANALISIS KASUS PERSELISIHAN HAK PT PANIN LESTARI INTERNUSA

             Masalah bermula ketika tanggal 30 April 2009 PT PLI memutuskan untuk menskors para pekerja, mengingat adanya perubahan konsep penjualan di Plaza Indonesia. Gugatan PLI dengan dasar force majeure di PHI Jakarta ditolak oleh Majelis hakim. Dalam putusannya, Hakim memerintahkan PLI mempekerjakan kembali para pekerja, karena perusahaan itu dianggap tidak maksimal dalam upayanya agar pekerja terhindar dari PHK. Setelah putusan, pekerja berharap segera mendapatkan hak-hak mereka, setidaknya upah selama proses yang terhenti pembayarannya. Apalagi putusan hakim disertai amar dwangsom, uang paksa jika putusan tak dilaksanakan. Masalahnya, saat itu hakim tidak memerintahkan PLI membayar lewat putusan selanya.

Puluhan pekerja yang menggugat tidak mendapatkan gaji bulanannya, sesuatu yang dijamin oleh Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). Pasal 96 UU Nomor 2 Tahun 2004 juga mewajibkan hakim memerintahkan pembayaran tersebut.
Karyawan sempat mengajukan gugatan perselisihan hak untuk menuntut dibayarnya upah bulanan sampai keluarnya putusan Kasasi. Pada detik-detik terakhir sidang pertama, para pekerja mencabut gugatan mereka. Mereka memilih mengadukan Direksi PLI ke Polda Metro Jaya. Dalam laporan para pekerja, Direktur Utama PLI dituduh melakukan penipuan dan atau penggelapan atau pelanggaran hukum ketenagakerjaan sebagaimana diatur pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), 372 KUHP atau Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tidak jelas bagaimana nasib laporan mereka.
Menjelang lebaran, tampaknya karena banyak kebutuhan mendesak, para pekerja menyerah. Meski sebenarnya menang ditingkat pertama, mereka menerima dipecat karena PLI pembayaran dua kali pesangon dan dibayarnya gaji dan tunjangan selama proses. Ironisnya, hasil kesepakatan itu adalah sedikit diatas tawaran PLI dalam gugatannya. Intinya, buruh kembali kalah.

ANALISIS

Meski Undang-Undang mengharuskan pekerja dan pengusaha tetap menjalankan kewajibannya sampai ada penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, tapi saat sedang berselisih, cukup banyak pengusaha yang memilih tidak membayar hak-hak pekerjanya (gaji pokok, tunjangan tetap).
Diatas kertas, perusahaan tidak akan begitu saja mengemplang. Pengusaha pasti punya alasan, apakah menganggap pekerja mangkir atau pekerja sudah di PHK.
Bila tidak ingin terus mempekerjakan, sebetulnya pengusaha diperkenankan melakukan skorsing terhadap pekerja, dengan catatan tetap membayar upah pekerja.
Keharusan Melaksanakan Hak dan Kewajiban
Pasal 155 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
(2). Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
(3). Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Kemungkinan Pengeluaran Putusan Sela

Untuk menjalankan Pasal 155 ini, hakim sebenarnya dapat menetapkan putusan sela yang memerintahkan membayar upah pekerja bila pengusaha tidak menjalankan kewajiban, sebagaimana diatur Pasal 96 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Tapi pasal itu praktis sangat jarang digunakan.
Pasal 96 UU 2/2004 tentang PPHI
(1). Apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2). Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan kedua.
(3). Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih berlangsung dan Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak juga dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4). Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Dalam praktek pengusaha biasanya bersikap defensif soal upah sambil menunggu proses mediasi hingga ke putusan PHI. Ini yang yang kadang menjadi trik pengusaha supaya tak membayar bayar upah pekerja selama skorsing. Tidak pernah dikeluarkannya perintah ini memancing protes dari kalangan pekerja. Menurut sebagian pekerja, ini masalah besar dan sangat melemahkan posisi buruh. Putusan sela sesuai Pasal 96 UU No. 2/2004, menurut sebagian orang hanya dapat dipakai bila pengusaha skorsing. Hakim akan sangat hati-hati mengeluarkan putusan provisionil. Apalagi dengan resiko sita jaminan yang tidak bisa dilawan. 

Tidak ada komentar: