Rabu, 25 Agustus 2010

GUGATAN TATA USAHA NEGARA TERHADAP PENGENAAN LARANGAN ABSENTEE ATAS TANAH

            Dalam melakukan program Landreform di Indonesia, Menteri Negara Agraria sebagai Kepala Badan Pertanahan Indonesia melakukan pemeriksaan atas tanah yang terkena larangan absentee /guntai. Berdasarkan pasal 10 UU No. 5 Tahun 1960, tanah yang terkena absentee akan menjadi milik negara. Pelaksanaan atas tanah absentee ini harus memenuhi berbagai persyaratan. Dalam kasus ini akan diuraikan mengenai pengabsenteean atas suatu tanah serta persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pengabsenteean tersebut.
KASUS POSISI
Pada tanggal 23 April 1997,  Drs. Muchdan Bakrie bertindak atas dirinya sendiri serta untuk dan atas nama orang tuanya yaitu HMT Bakrie dan para ahli waris lainnya berdasarkan surat kuasa No. 68/VII/97 tanggal 28 Agustus 1997, mengajukan gugatan yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 24 April 1997 dengan register perkara No. 049/G.TUN/1997/PTUN-JKT dan telah melalui tahap pemeriksaan persiapan pada tanggal 6 Agustus 1997 atau 23 Juli 1997 (ada dua keterangan waktu yang berbeda tentang pemeriksaan persiapan dalam putusan).
          Adapun yang menjadi tergugat dalam kasus ini adalah:
1.      Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Indonesia , sebagai Tergugat I .
2.      Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, sebagai Tergugat II .
           Sebelumnya tanggal 19 Desember 1996, Penggugat telah mengirimkan surat permohonan kepastian hukum atas tanah hak  milik adat orang tua Penggugat yaitu HMT. Bakrie dengan No. 19/HMTB/XII/1996 kepada Menteri  Agraria/Kepala Badan Pertanahan Indonesia (Tergugat I). Atas surat tersebut sampai jangka waktu 4 bulan, Tergugat I tidak memberikan  jawaban atau dengan sikap diam saja, oleh karenanya  dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan atas surat permohonan tersebut. Adapun yang menjadi dasar diajukannya surat permohonan Penggugat kepada Tergugat I adalah masalah kepastian hukum tentang kepemilikan tanah dengan riwayat sebagai berikut:
          Tanah atas nama HMT Bakrie dibeli dari Raden Hanafie Wiradiredja dengan akta jual beli Notaris Noezar di Bandung tanggal 23 Juli 1955 No. 147 dengan luas 20 (dua puluh hektar) sebelum adanya PP No. 224 Tahun 1961. Tanah tersebut kemudian didaftarkan ke Kantor Pendaftaran tanah Hak Milik di Jatinegara pada tanggal Juli 1959 dengan Girik C No. 1730 No. 123 Persil No. 17 seluas 129.500 m2 (12.95 hektar)  terletak di desa rangkapan Jaya kecamatan Pancoran Mas Depok Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat dengan batas-batas yang tidak disebutkan dalam gugatan. Kemudian tanah tersebut berdasarkan Surat keputusan KINAG Jawa Barat tanggal Desember 1965 No. V/B-54/Insp/1965 telah didistribusikan berdasarkan UU No. 5 tahun 1960 jo PP No. 224 Tahun 1961 karena pemilik tanah yang bersangkutan (HMT Bakrie) bertempat tinggal diluar kecamatan letak tanah yaitu di Jakarta, sehingga tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara.
          Selanjutnya atas tanah tersebut, seluas 10.224 hektar diredistribusikan kepada 78 orang petani penggarap sedangkan sisanya yaitu 2.7299 Hektar dikeluarkan dari obyek Landreform untuk dipergunakan kepentingan Pemerintah desa. Tanah yang didistribusikan kepada 78 petani penggarap tersebut selanjutnya dijual kepada pegawai departemen Luar Negeri sesuai dengan Akta Jual Beli tanggal 25 Desember 1967       No. I/Depok/1967 yang dibuat dihadapan Notaris John Leonard Woworuntu, SH. Jual Beli tersebut ternyata telah melanggar kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Propinsi Jawa Barat tanggal 16 Desember 1965     No. V/VIII-54/INSP/1965 yaitu karena yang bersangkutan belum membayar uang ganti rugi dan belum mendaftarkan haknya serta pengalihan haknya tanpa ijin. Oleh karena itu surat keputusan redis kepada 78 orang petani penggarap tersebut dicabut oleh Menteri Dalam Negri cq. Direktur Jenderal Agraria (sekarang Menteri negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional/Tergugat I) tanggal 2 Agustus 1978         No. SK.81/DJA/1978 yang mana pada salah satu klausulnya menyatakan bahwa pengaturan kembali tanah tersebut diserahkan kepada Kepala Direktorat agraria propinsi Jawa Barat (sekarang kantor Wilayah badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Barat), dengan prioritas pertama diberikan kepada pegawai Departemen Dalam Negeri yang mana telah membeli tanah tersebut, dengan didukung Surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk I jawa Barat cq. Kepala Direktorat Agraria tanggal 31 Maret 1979              No. 727/Dit/PHT/HM/1979 tentang pemberian Hak milik kepada Masehan dan kawan-kawan (149 orang) yang atas surat keputusan tersebut terbitlah Sertifikat Hak Milik sebanyak 111 buah untuk 111 orang.
          Sebelumnya oleh karena tanah Penggugat terkena peraturan mengenai larangan memiliki tanah absentee  berdasarkan PP No. 224 Tahun 1961 pasal 6 jo surat Keputusan Dewan Pengurus Yayasan Dana Landreform Pusat tanggal 25 November 1981 Nomor YDL/KEU/2274/SPP-14/I/III/1981 terhadap penggugat telah ditawarkan untuk mendapat ganti rugi. Namun orang tua Penggugat (HMT Bakrie) menolaknya sebagaimana diutarakan dalam suratnya tanggal 19 Januari 1982. Oleh karena HMT Bakrie menolak ganti rugi tersebut, maka berdasarkan PP No. 224 Tahun 1961 pasal 19 ayat 1 tanahnya tersebut diambil oleh negara tanpa ganti kerugian. Kemudian pada tanggal 11 Mei 1993 Penggugat mengajukan surat Permohonan pada kantor Pertanahan Kabupaten Bogor Nomor 08/HMTB/V/1993 tentang peninjauan kembali terhadap pemberian hak tanah tersebut sebagaimana telah diputuskan pada SK Tergugat I tanggal 2 Agustus 1978 No. SK.81/DJA/1978l. Permohonan tersebut kemudian dijawab oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor pada tanggal 14 Agustus 1994 No. 410-2169 yang salah satu intinya agar diadakan musyawarah antara pemegang sertipikat dan apabila tidak ada kesesuaian maka Penggugat dipersilakan mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk kasus perdata.
          Kemudian Penggugat mengajukan Surat permohonan lagi dengan No. 19/HMTB/XII/1996  tanggal 19 Desember 1996 namun kali ini ditujukan kepada kepada Menteri  Agraria/Kepala Badan Pertanahan Indonesia. Oleh Tergugat tidak dijawab sampai lewat 4 bulan sejak diterimanya surat permohonan kepastian hukum atas hak milik adat. Dengan demikian berdasarkan  pasal 3 ayat 1 dan 3 UU No. 5 Tahun 1986, sikap diam Tergugat I dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha yaitu berupa penolakan, yang selanjutnya atas keputusan Tergugat I tersebut Penggugat mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta. Bahwa dalam gugatannya Penggugat meminta PTUN memutus:
•  Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;
•  Mewajibkan Tergugat I untuk menerbitkan Surat keputusan yang berisi tentang pengembalian hak milik adat tersebut kepada Penggugat selaku ahli waris dan penerima kuasa dari pemilik yangs ah yaitu HMT Bakrie;
•  Menyatakan batal dan tidak sah sertipikat-sertipikat Hak Milik yang telah diterbitkan oleh Tergugat II sebanyak 111 buah untuk 111 orang.

ANALISIS KASUS
Analisis ini didasarkan pada berkas Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Dalam hal ini, pokok bahasan yang akan kami baha dalam Putusan Pengadilan ini adalah:
1.      Hal yang berkaitan dengan Eksepsi Para Tergugat;
2.      Berkaitan dengan Pembuktian;
3.      Berkaitan dengan Formil Putusan. 

  1. TERHADAP EKSEPSI PARA TERGUGAT
Dalam eksepsinya, para Tergugat mengajukan keberatan atas dasar:
A.  Gugatan Penggugat diajukan salah alamat .
Tergugat II dalam eksepsinya menyatakan bahwa karena obyek gugatan adalah surat keputusan terhadap barang tidak bergerak atas tanah yang terletak di Desa Rangkapan Jaya Kecamatan Pancoran mas (dahulu Kecamatan depok) Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat maka dengan dibentuknya PTUN Bandung maka gugatan penggugat seharusnya diajukan ke PTUN Bandung dan PTUN Jakarta tidak berhak mengadilinya. Menurut pasal 77 ayat 3 UU No. 5 tahun 1986 dikatakan bahwa eksepsi mengenai kewenangan relatif haruslah diajukan sebelum jawaban terhadap pokok perkara, sedangkan eksepsi Tergugat II tersebut disampaikan bersama-sama dengan jawaban dalam pokok perkara. Selain itu berdasarkan pasal 54 UU No. 5 tahun 1986 dikatakan bahwa gugatan dapat diajukan kepada salah satu Pengadilan Tata Usaha Negara tempat kedudukan Tergugat. Meskipun Majelis Hakim tidak mengambil sikap melalui putusan sela namun telah menjelaskan hal tersebut kepada para pihak sebelum pemeriksaan pokok perkara. Hal mana harus diartikan pengadilan telah menolak eksepsi Tergugat II tersebut.
Menurut saya, kompetensi Pengadilan TUN dapat diuraikan sebagai berikut: Dalam praktek terdapat dua macam kompetensi, yaitu:
1)      Kompetensi Absolut
Yaitu menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macam-macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili;
Agar suatu perkara dapat dikatakan sebagai perkara yang masuk dalam lingkup kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara, maka objek dari perkara tersebut berdasarkan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986 haruslah berupa Putusan Tata Usaha Negara yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a)  Penetapan Tertulis
b)  dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
c)  Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku
d)  Bersifat Konkrit
e)  Bersifat individual
f)   Bersifat Final
Dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut, maka jelas dan tepat apabila atas keputusan yang dilahirkan Tergugat I Penggugat mengajukan gugatan ke PTUN.
2)                  Kompetensi Relatif
Yaitu mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang serupa tergantung dari tempat tinggalnya tergugat;
Dalam kasus hal ini telah terpenuhi, karena Penggugat Drs. Muchdan Bakrie mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta  yang mana tempat kedudukan Tergugat I yaitu di Jl. Sisingamangaraja No. 2 Jakarta Selatan, sedangkan Tergugat II di Jl. Jend. Ahmad Yani No. 41 Bogor dan berdasarkan pasal 54 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 dikatakan “apabila tergugat lebih dari satu badan atau Pejabat TUN dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat TUN tersebut.” Oleh karena itu dipilihlah Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk mengadili perkara ini disebabkan kewenangannya meliputi kedudukan Penggugat. Selain itu apabila ada keberatan atas kewenangan pengadilan untuk mengadili yang bersifat relatif ini, harus disampaikan sebelum disampaikannya jawaban atas pokok perkara dan harus diputus oleh Majelis Hakim sebelum pokok perkara diperiksa, hal ini diatur dalam pasal 77 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986. 


B.     Gugatan Penggugat Telah Lewat Waktu.
Tergugat dalam eksepsinya menyatakan bahwa gugatan Penggugat terhadap keputusan Tergugat I tanggal 2 Agustus 1978 No. SK.81/DJA/1978 tentang Pencabutan Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Propinsi Jawa Barat tanggal 16 Desember 1965 No. V/VIII-54/INSP/1965, telah diketahui Penggugat sejak tanggal 14 Agustus 1994   No. 410-2169 yang merupakan jawaban daripada surat usulan dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor dan tembusannya juga dikirimkan kepada Penggugat. Sehingga Penggugat sudah mengetahui kepentingannya merasa dirugikan dengan dikeluarkannya surat tersebut. Berdasarkan surat Edaran MARI No. 2 Tahun 1990 ditentukan penerapan pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 bagi pihak ketiga yang tidak dituju oleh Keputusan TUN yang dijadikan obyek sengketa, maka tenggang waktu untuk mengajukan gugatan dihitung secara kasuistis yaitu sejak diketahuinya ada keputusan tersebut yaitu pada tanggal 14 Agustus 1994. Sedangkan gugatan diajukan Penggugat pada tanggal 24 april 1997 dan diperbaiki lagi pada tanggal 6 Agustus 1997 sehingga telah melewati 90 (sembilan puluh) hari, maka gugatan Penggugat sudah daluwarsa sehingga harus ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima.
Majelis Hakim menolak keberatan tergugat tersebut dengan alasan bahwa yang menjadi obyek gugatan dalam perkara ini adalah perbuatan Tergugat I yang bersifat diam atas surat Penggugat Tertanggal 19 Desember 1996 No. 19/HMTB/XII/1996 perihal mohon keputusan dan kepastian hukum atas tanah hak milik adat Penggugat yang menurut pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 sikap Tergugat I tersebut telah mengeluarkan keputusan yang berisikan penolakan terhadap permohonan Penggugat tersebut. Oleh karena tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur tenggang waktu bagi Tergugat I untuk menjawab surat Penggugat tersebut maka berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1986 sebagai ketentuan umum maka tenggang waktu untuk mengajukan gugatan adalah 90 hari dihitung setelah lewat waktu 4 bulan sejak permohonan Pengugat diterima oleh tergugat. Dalam kasus tersebut, surat penggugat diterima oleh Tergugat I pada tanggal 23 Desember 1996 dan gugatan penggugat didaftarkan di Kepaniteraan PTUN Jakarta tanggal 24 April 1997 maka gugatan masih dalam tenggang waktu ( vide pasal 3 angka 1 jo pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986).
Menurut kami, pertimbangan Majelis Hakim diatas sudah tepat. Namun ada hal lain yang juga patut untuk dicermati dalam pengajuan gugatan ini, yaitu berdasarkan pasal 59 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1986 “selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari sesudah gugatan dicatat, Hakim menentukan hari, jam dan tempat persidangan dan menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.”
Dalam kasus, Penggugat gugatannya dicatat dikepaniteraan PTUN pada tanggal 24 April 1997 sedang pemeriksaan persiapan  baru dilakukan pada tanggal 23 Juli 1997 atau 6 Agustus 1997 (hal ini terjadi karena dalam putusan Majelis Hakim terdapat dua keterangan waktu yang berbeda). Meskipun tidak ada batasan waktu selambatnya persidangan dilakukan, seharusnya berdasarkan pasal 59 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1986 tersebut Majelis Hakim melaksanakan persidangan  selambatnya bulan Juni 1986, hal ini agar sesuai dengan maksud yang terkandung dalam pasal 59 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1986 yaitu juga mendukung adanya asas peradilan yang cepat, murah dan sederhana sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 14 Tahun 1970.
Namun tehadap penyimpangan ini tidak dapat diajukan upaya hukum yang berkaitan dengan pokok perkara, akan tetapi sanksi yang dapat diterapkan adalah berupa sanksi moral dan administratif yang dapat dimintakan kepada atau dilakukan oleh Ketua PTUN atau PTTUN atau MA (ketua Muda Bidang Pengawasan dan Pembinaan) sebagai tindak lanjut dari pengawasan yang dilakukan terhadap instansi dibawahnya.
  C. Gugatan Penggugat Kurang Pihak
Tergugat dalam eksepsinya menyatakan bahwa yang menjadi dasar terbitnya sertipikat yang digugatkan adalah SK Kepala Direktorat Agraria Propinsi Jawa Barat (sekarang Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Barat) maka seharusnya Penggugat menarik Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Nasional Propinsi jawa Barat tersebut sebagai pihak dalam perkara ini.
          Majelis Halim dalam putusannya menyatakan bahwa eksepsi ini harus ditolak, karena yang menjadi objek sengketa dalam perkara ini adalah keputusan penolakan (fiktif negatif) yang dikeluarkan tergugat I dan keputusan berupa penerbitan sertifikat-sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Tergugat II dan berdasarkan pasal 1 butir 6 UU No. 5 Tahun 1986 Tergugat adalah badan atau pejabat yang mengadakan keputusan TUN. Oleh karena Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Barat yang mengeluarkan SK Pemberian Hak atas tanah tersebut yang telah ditindaklanjuti dengan penerbitan sertipikat tersebut menurut hemat Majelis Hakim tidak perlu ditarik kembali sebagai pihak dalam perkara ini.
          Menurut pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1986, Tergugat adalah badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Dalam kasus, yang menjadi tergugat adalah Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional sebagai Tergugat I dengan menggunakan dasar bahwa terhadap Tergugat I telah diajukan surat permohonan tentang kepastian hukum atas tanah hak milik adat orang tua Penggugat (HMT Bakrie) tanggal 19 Desember 1996   No. 19/HMTB/XII/1996. Namun sampai lewat waktu 4 bulan Tergugat belum juga memberikan jawaban atas permohonan tersebut. Maka atas sikap diam Tergugat I berdasarkan pasal 3 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. Sehingga yang menjadi objek dari perkara Tata Usaha Negara ini adalah Keputusan penolakan yang dikeluarkan oleh  Pejabat Tata Usaha Negara yang dalam hal ini adalah Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional/Tergugat I.
          Sedangkan Tergugat II adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor dengan dasar akibat diterbitkannya Sertifikat-sertifikat atas tanah tersebut kepada pegawai Departemen Luar Negeri sebagaimana dinyatakan Penggugat dalam gugatannya. Hal tersebut tidak tepat, karena seharusnya Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor ini tidak diikutsertakan sebagai Tergugat II. Oleh karena yang menjadi objek adalah sikap diam/keputusan TUN berupa penolakan dari Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, berarti yang sesuai dengan konsep “Tergugat” sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 angka 6 adalah hanya Tergugat I. 
Selain itu, Penggugat menarik Tergugat II sebagai pihak dalam perkara ini dengan alasan karena keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor/Tergugat II yang telah mengeluarkan sertipikat tersebut adalah keliru sebab yang melahirkan Sertifikat Hak Milik atas nama Pegawai Departemen Luar Negeri adalah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Barat, bukan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor/Tergugat II. Dan jika Penggugat ingin menarik Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan nasional Propinsi jawa Barat sebagai pihak dalam hal ini tidak bisa dilakukan karena tahun dikeluarkannya keputusan penerbitan sertifikat-sertifikat tersebut adalah pada tahun 1979, karena sudah melewati tenggang waktu sebagaimana disebutkan dalam pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986.
Maka jelas bahwa tidak tepat jika Penggugat memasukkan Tergugat II sebagai salah satu pihak dalam perkara ini.  Salah satu karakteristik dari Hukum Acara PTUN adalah menekankan bahwa terhadap putusan Hakim Tata Usaha Negara berlaku asas Erga Omnes, yang artinya bahwa putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa tetapi juga berlaku bagi pihak-pihak lain yang terkait. Dalam kasus tersebut, Tergugat II atau pun Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Barat dapat dikatakan sebagai pihak lain yang terkait yang juga harus tunduk terhadap putusan Majelis Hakim, sehingga apabila putusan Majelis Hakim adalah mengabulkan gugatan Penggugat maka begitu Tergugat I menerbitkan keputusan yang diperintahkan dalam putusan pengadilan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Barat otomatis harus segera mencabut Sertifikat Hak Milik atas nama para pegawai Departemen Luar Negeri. Hal ini juga merupakan ciri khas dari Hukum Acara PTUN bahwa eksekusi dilakukan secara otomatis (pasal 116 ayat 1 dan2 UU No. 5 Tahun 1986) dan Eksekusi Hierarkhi (pasal 116 ayat 3 s.d. 6 UU No. 5 Tahun 1986), dengan juga menekankan bahwa Tergugat II ataupun Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Barat sebagai pihak yang menerbitkan SHM tersebut berada dibawah lingkup kewenangan Tergugat I. Sehingga terhadap eksepsi yang diajukan oleh Para Tergugat, kami sependapat dengan majelis Hakim dengan alasan sebagaimana telah jelaskan diatas.
D. Gugatan Penggugat Kabur atau Tidak Jelas
          Tergugat dalam eksepsinya menyatakan bahwa yang menjadi obyek gugatan adalah tanah Girik C No. 1730, No. 123 Persil 17 seluas 12.95 Ha terletak di Desa Rangkapan Jaya Kecamatan Pancoran mas (dahulu Kecamatan depok) Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Namun Penggugat tidak menyebutkan batas-batas tanah yang akan disengketakan. Kemudian, tergugat juga menyatakan gugatan Penggugat adalah keputusan fiktif negatif dengan tidak dijawabnya surat Penggugat tanggal 19 Desember 1996 No. 19/HMTB/XII/1996 yang ditujukan kepada Menteri Agraria/ Kepala Badan pertanahan nasional yang didasarkan pasal 3 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1986 dan juga untuk menerbitkan keputusan tentang Pengembalian Hak Milik Adat dan pembatalan sertipikat. Menurut Majelis Hakim eksepsi ini harus ditolak karena sebagaimana telah dipertimbangkan diatas bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dijadikan sengketa ini adalah sikap diam dari Tergugat I yang dianggap telah mengeluarkan keputusan pertanahan (fiktif negatif) yang dikumulasikan dengan keputusan berupa penerbitan sertipikat tanah yang dimaksud dalam surat Penggugat tersebut yang diterbitkan oleh Tergugat II. Bahwa komulasi objek sengketa gugatan berdasarkan pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 dengan objek gugatan sengketa didasarkan pasal 53 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 menurut hukum acara PTUN dalam UU No. 5 Tahun 1986 tidak dilarang, oleh karenanya gugatan penggugat menurut Majelis Hakim sudah jelas.

          Pertimbangan Majelis Hakim disini sudah tepat. Namun dalam hal komulasi objek sengketa seperti yang dimaksud Majelis Hakim tersebut, tidak dimungkinkan dalam PTUN. Hal ini dikarenakan mengingat yang menjadi objek sengketa yang juga telah mengantarkan Penggugat sampai ke persidangan tersebut adalah Keputusan Penolakan/sikap diam dari Menteri Agararia/Kepala Badan Pertanahan Nasional/ Tergugat I atas permohonan kepastian hukum mengenai kepemilikan tanah hak milik adat tersebut. Seharusnya yang digugat/tuntut hanya satu perkara pokok saja yaitu yang berkaitan dengan keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional/Tergugat I tersebut. Serta mengingat pada penjelasan  pasal 53 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 tersebut yang memberikan limitasi adanya tuntutan tambahan yaitu hanya terhadap tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi, bukannya komulasi dengan tuntutan lain yang sifatnya berbeda dan termasuk dalam jenis tuntutan pokok.
  E. Penggugat Tidak Berkualitas mengajukan Gugatan
          Tergugat I dalam eksepsinya menyatakan Penggugat selaku kuasa hukum penuh dari HMT Bakrie merupakan penggunaan kuasa hukum mutlak sehingga telah melanggar Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Maret 1982 No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Hukum Mutlak. Menurut Majelis Hakim eksepsi terhadap penggunaan kuasa hukum penuh tersebut tidak bersifat ekseptif melainkan hanya menyangkut pokok sengketa yang bersangkutan karenanya harus ditolak.
          Menurut kami, Penggugat dalam suatu surat gugatan harus tergambar dengan jelas siapa penggugatnya dan apakah ia diwakili oleh kuasa hukumnya? Hal ini untuk memperjelas siapa-siapa saja yang bersengketa dalam rangka untuk mempermudah pengidentifikasian  dan proses selanjutnya sekaligus melindungi pihak ke-3 yang beritikad baik. Dalam kasus ini, yang menjadi penggugat adalah Drs. Muchdan Bakrie  yang beralamat di Jl. Delta Sari Nomor F11/ 58 Radio Dalam Kebayoran Baru Jakarta Selatan selaku kuasa penuh dari HMT Bakrie yang bertindak selaku diri sendiri serta untuk dan atas nama para ahli waris lainnya, dengan demikian Penggugat tidak diwakili oleh kuasa hukum.
Namun Surat Kuasa dari para ahli waris lainnya tersebut baru diberikan pada tanggal 28 Agustus 1997 sedangkan Penggugat mengajukan gugatan ke PTUN pada tanggal 24 April 1997, berdasarkan pasal 56 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 ditentukan bahwa “apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat maka gugatan harus diserta surat kuasa yang sah.” Berdasarkan pasal 62, hal ini harus  terpenuhi sebelum Ketua Pengadilan membuat suatu penetapan untuk memutus apakah gugatan yang diajukan diterima atau tidak diterima meskipun sudah diberitahukan, dan jika hal ini tidak terpenuhi maka gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
          Dalam kasus, surat kuasa dari ahli waris lainnya diberikan pada tanggal           28 Agustus 1997 setelah keluarnya penetapan Ketua PTUN untuk mengadili perkara tersebut, bahkan setelah melalui tahapan pemeriksaan persiapan. Sedangkan dalam gugatan (Drs. Muchdan Bakrie) dikatakan bahwa ia bertindak untuk diri sendiri serta untuk dan atas nama para Ahli waris lainnya namun tanpa disertai surat kuasa dari ahli waris lainnya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa seharusnya gugatan penggugat tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan pasal 56 jo pasal 62 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986.
          Disamping dalam gugatannya juga dikatakan bahwa Penggugat selaku kuasa penuh dari HMT Bakrie, yang dapat dipersamakan dengan penggunaan Kuasa Mutlak, maka hal ini telah melanggar ketentuan Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Maret 1982 No. 14 tahun 1982. Kemudian dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menyatakan bahwa keberatan yang diungkapkan kuasa hukum Para Tergugat berkaitan dengan hal ini tidak bersifat ekseptif melainkan sudah berkaitan dengan pokok perkara, menurut kami tidaklah tepat. Oleh karena eksepsi terhadap kualitas Penggugat dalam mengajukan gugatan tersebut penting untuk mengetahui dengan jelas siapa Penggugat dan dalam kewenangan apa ia mengajukan gugatan, sehingga keberatan atas kualitas Penggugat tersebut bersifat ekseptif (termasuk dalam hal formil perkara) dan tepat apabila diajukan, meskipun seharusnya diputus bersamaan dengan pokok perkaranya sebagaimana dikatakan dalam pasal  77 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1986.
2. Mengenai Pokok Perkara
Penggugat mengatakan bahwa keputusan yang diambil oleh Tergugat I telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku; sewenang-wenang dan melanggar asas kecermatan. Berikut ini adalah pembuktian terhadap masing-masing unsur tersebut:
A. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
          Menurut dalil penggugat, keputusan Penolakan Tergugat I dan penerbitan sertipikat-sertipikat tersebut merupakan tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku pasal 28 ayat 1 PP No. 10 tahun 1961 yang menyatakan bahwa Kepala Kantor Pendaftaran Tanah menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan sesuatu hak atas tanah jika tidak memenuhi persyaratan dibawah ini:
·         Akta yang dimaksud dalam pasal 19 disampaikan tanpa sertifikat atau surat keterangan atau persyaratan yang dimaksud dalam pasal 25 ayat 1 dan warkat lainnya;
·         Sertipikat dan surat keterangan tentnag keadaan hak atas tanah tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pendaftaran Tanah;
·         Jika orang yang  memindahkan, memberikan hak baru, menggadaikan atau menanggung hak atas tanah itu tidak berwenang berbuat demikian;
·         Didalam hal jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang diimaksudkan untuk memindahkan hak milik tidak diperoleh ijin dari Menteri Agraria atau Pejabat yang ditunjuk.
Maka berdasarkan hal tersebut tidak ada alasan bagi Tergugat I untuk menolak permohonan yang diajukan oleh Penggugat, begitu juga dengan Tergugat II seharusnya tidak menerbitkan sertipikat-sertipikat tersebut.
B. Sewenang-wenang
          Menurut penggugat bahwa dengan dicabutnya Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Propinsi Jawa Barat (SK KINAG Jawa Barat) tanggal 16 Desember 1965         No. V/VIII-54/INSP/1965 tentang surat keputusan redistribusi kepada 78 orang petani penggarap oleh Menteri Dalam Negeri cq. Direktur Jenderal Agraria (sekarang Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional/Tergugat I) tanggal 2 Agustus 1978 No. SK.81/DJA/1978 maka seharusnya penguasaan atas tanah tersebut kembali kepada Pemilik awalnya, oleh karena peraturan dasar yang mengatur bahwa tanah tersebut menjadi tanah negara dan akan didistribusikan telah dicabut. Sehingga tidak ada alasan bagi Tergugat I untuk menolak permohonan yang diajukan oleh Penggugat, begitu juga dengan tergugat II seharusnya tidak menerbitkan sertipikat-sertipikat tersebut.
          Terhadap dua unsur ini Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa dalam konsideran angka 4 Surat Keputusan Tergugat I tersebut menyebutkan bahwa Akta Jual Beli antara petani penggarap dengan Para Pegawai departemen Luar Negeri tersebut tidak memenuhi persyaratan karena para penerima redistribusi tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari Kantor agraria Daerah (Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten Bogor) telah mengalihkan/menjual tanahnya kepada orang lain. Sedangkan harga tanah/uang masukan yang harus mereka bayar kepada pemerintah belum lunas (melanggar larangan sebagaimana diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961 jo PMA 14 Tahun 1961 jo SK Menteri Dalam Negeri No. XIII/17/Ka/1962) dan dalam angka 5 menyebutkan bahwa akta Notaris tersebut tidak memenuhi ketentuan pasal 2 Peraturan Menteri agraria No. 10 Tahun 1961.
Di satu sisi Tergugat I memberikan prioritas pertama kepada Para Pegawai Departemen Luar Negeri untuk mendapat/memperoleh hak atas tanah milik Penggugat yang terkena ketentuan absentee /guntai tersebut. Akan tetapi di sisi lain memberikan wewenang pengaturan kembali pemberian hak kepada Gubernur Kepala Daerah up. Kepala Direktorat agraria Jawa Barat yang kemudian terbitlah SHM atas nama Masehan dan kawan-kawan. Oleh karena Tergugat I dengan tidak memperhatikan hal tersebut diatas telah mengeluarkan keputusan penolakan atas permohonan kepastian hukum hak milik atas tanah tersebut, maka menurut hemat Pengadilan tindakan yang dilakukan Tergugat I tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan merupakan perbuatan sewenang-wenang sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 huruf a dan c UU No. 5 Tahun 1986.
          Dalam penjelasan pasal 53 ayat 2 angka a dikatakan bahwa suatu Keputusan TUN dapat dinilai “bertentang-tentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” apabila keputusan yang bersangkutan itu:
• Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/ formal;
• Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/substansial;
• Dikeluarkan oleh badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang.
          Sedangkan suatu Keputusan TUN dikatakan sewenang-wenang apabila tidak sesuai dengan hukum (bersifat melawan hukum). Sehingga berdasarkan penjelasan unsur-unsur tersebut dalam pasal 53 ayat 2 a dan c maka antara unsur sewenang-wenang dengan unsur bertentangan dengan peraturan perundang-undangan saling berkaitan dengan asas umum pemerintahan yang baik.
          Dalam Kasus oleh karena orang tua Penggugat memiliki tanah yang dikenakan Larangan absentee maka ia berhak atas ganti kerugian sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 224 Tahun 1961 tersebut. Kemudian berdasarkan Pengumuman Gubernur Kepala Daerah/ Panitia Landreform daerah Tk. I Jawa Barat tangal 16 Januari 1964              No. 1/PLDT/1/1964 tentang batas waktu penyerahan tanah Absentee/Guntai, walaupun belum menandatangani Surat penerimaan Penyerahan dan pemberian Ganti Rugi (STP3), tanah tersebut dikuasai negara/pemerintah berdasarkan peraturan yang berlaku selambat-lambatnya 30 November 1964 kepada pemilik tanah pertanian Absentee/guntai sudah menyerahkan tanahnya kepada panitia Landreform Tk II dan apabila dalam batas waktu tersebut yang bersangkutan tidak mentaati maka pemiliknya dianggap sudah menyerahkan tanahnya kepada negara. Sedangkan Pelaksanaan peraturan ini berlaku pula terhadap Penggugat.
          Adanya pelanggaran kewajiban yang terjadi dalam Jual Beli tersebut mengakibatkan surat keputusan redistribusi kepada 78 orang petani penggarap tersebut dicabut oleh Menteri Dalam Negri cq. Direktur Jenderal Agraria (sekarang Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional/Tergugat I) tanggal 2 Agustus 1978 No. SK.81/DJA/1978. Kemudian keputusan inipun menyatakan bahwa pengaturan kembali tanah tersebut diserahkan kepada Kepala Direktorat agraria propinsi Jawa Barat (sekarang kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Barat), dengan prioritas pertama diberikan kepada pegawai Departemen Luar Negeri.
Selanjutnya dengan atas Surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk I Jawa Barat cq. Kepala Direktorat Agraria tanggal 31 Maret 1979 No. 727/Dit/PHT/HM/1979 diterbitkanlah sertifikat hak Milik sebanyak 111 buah untuk 111 orang. Mengingat ketika SK KINAG Jawa Barat No. V/B-54/Insp/1965 tersebut dicabut oleh Menteri Dalam Negri cq. Direktur Jenderal Agraria (sekarang Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional/Tergugat I) tanggal 2 Agustus 1978 melalui SK                         No. SK.81/DJA/1978, maka posisi tanah tersebut tetap menjadi tanah negara dengan pengaturan selanjutnya oleh Tergugat I diprioritaskan diberikan kepada Pegawai Departemen Luar Negeri sebagai pembeli/pihak ketiga dengan itikad baik sesuai pasal 1341 ayat 2 KUHPerdata. Terlebih lagi Orang tua Penggugat menolak ganti rugi yang telah diajukan. Maka berdasarkan pasal 19  PP No. 224 Tahun 1961 jo UU No. 5 Tahun 1960 yang mengatur bahwa
  “pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja, menghalang-halangi pengambilan tanah oleh pemerintah dan pembagiannya, sebagai yang dimaksud pasal 2 ayat 2 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,- sedang tanahnya diiambil oleh pemerintah tanpa pemberian ganti kerugian.”  

Menunjukkan bahwa tanah tersebut bukan lagi menjadi milik dari Penggugat. Pengambilan kebijakan yang dilakukan Tergugat I sesuai dengan peraturan perundang-undang yang  berlaku karena dikeluarkan oleh Pejabat TUN yang berwenang, tidak bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/substansial dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat  prosedural/formal. Oleh karena unsur bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tidak terpenuhi begitu pula unsur sewenang-wenang juga tidak terpenuhi mengingat keputusan yang diambil Tergugat I berdasarkan fakta-fakta diatas dan masih didalam kewenangannya selaku menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional.
C. Melanggar asas Kecermatan
          Dalam dalilnya penggugat menyatakan bahwa ketidakcermatan Tergugat I dan Tergugat II karena sebagaimana diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961 jika pelaksanaan peralihan tidak benar, maka tanah akan dikembalikan kepada Pemilik yang dalam hal ini adalah Penggugat selaku ahli waris dari HMT Bakrie. Terhadap dalil Penggugat ini, Majelis Hakim tidak memberikan pertimbangan hukumnya. Sedang menurut kami dalil Penggugat tersebut tidak berdasar, oleh karena dalam PP No. 224 Tahun 1961 ataupun amandemennya PP No. 41 Tahun 1964 tidak terdapat satupun pasal yang menyatakan bahwa apabila pelaksanaan peralihan dilangsungkan dengan tidak benar maka tanah akan dikembalikan kepada pemilik.
Yang ada dalam peraturan tersebut adalah ketika diketahui seseorang melanggar pasal 10 UU No. 5 Tahun 1960 tentang larangan penguasaan tanah absentee maka tanah tersebut harus jatuh kepada negara dan terhadap pemiliknya akan diberikan ganti kerugian. Meskipun dalam kasus orangtua Penggugat menolak menerima ganti kerugian tersebut, tanah tersebut tetap menjadi milik negara yang pemanfaatannya untuk didistribusikan, atau digunakan untuk kepentingan negara. Dengan demikian meskipun SK KINAG telah dicabut, berdasarkan pasal 10 UU No. 5 Tahun 1960 tentang larangan penguasaan tanah absentee pemiliknya adalah negara, dan merupakan kewenangan Menteri dalam Negeri cq. Dirjen Agraria untuk memprioritaskan tanah tersebut kepada Para Pegawai Departemen Luar Negeri dengan pertimbangan untuk melindungi pembeli/pihak ketiga dengan itikad baik sesuai pasal 1341 ayat 2 KUHPerdata. Maka tidak ada alasan bagi Penggugat untuk mendalilkan bahwa keputusan Tergugat I melanggar asas kecermatan.


3. Analisa Terhadap Formil Putusan
Berdasarkan pasal 109 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 maka Putusan Pengadilan harus memuat:
a. Kepala putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
b.Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para  pihak yang bersengketa;
c.Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas
  • Dalam putusan kasus, terhadap ketiga hal diatas telah terpenuhi
d.Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa
  • Dalam putusan kasus, memang terdapat penilaian dan pertimbangan yang dilakukan oleh Majelis Hakim namun pertimbangan yang diambil oleh Mejelis Hakim menurut analis tidak disandarkan pada alasan hukum yang tepat.
e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan
  • Dalam putusan, majelis hakim memang memberikan alasan yang menjadi dasar putusannya. Namun alasan tersebut menurut analis tidak disandarkan kepada peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga hal ini tidak terpenuhi.
f. amar putusan tentang sengketa dan biaya
  • Dalam putusan amar putusan memang tentang sengketa dan biaya. Namun khusus amar tentang sengketa hal tersebut bertentangan dengan pasal 97 ayat 9 huruf c jo pasal 53 ayat 1 UU No. 5 tahun 1986 yaitu mengenai tuntutan harus berisi satu tuntutan yang berkaitan dengan pokok sengketa dan tidak dimungkinkan adanya tuntutan tambahan selain mengenai ganti rugi dan rehabilitasi. Akan tetapi yang terjadi dalam kasus, Penggugat menuntut  dua hal yang disandarkan pada dua hal yang berbeda (tidak berasal dari pokok sengketa yang sama, dalam hal ini adalah keputusan penolakan).
g. hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
  • Dalam putusan hal ini terpenuhi.

Kesimpulan:
Berdasarkan ayat 2 pasal 109 UU No. 5 Tahun 1986 dikatakan bahwa apabila salah satu ketentuan dalam ayat 1 tersebut tidak terpenuhi maka dapat menyebabkan batalnya putusan tersebut, oleh karena dalam putusan tersebut tidak memenuhi unsur-unsur tersebut maka putusan tersebut batal demi hukum.

DAFTAR PUSTAKA
 [1]Ny. Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (Bandung:Mandar Maju, 1997), hal.11.
[2] Chudry Sitompul,  Dosen Praktek PTUN Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam wawancara pada tanggal 2 Mei 2003
[3]Soemaryono, SH dan Anna Erliyana, SH, MH, Tuntutan Praktik Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara (Jakarta: PT Primamedia Pustaka, 1999), hal. 11. 
 
 

Tidak ada komentar: